Peradaban Buku
Eduaksi | 2022-05-16 22:41:50Sekitar abad 14, dua ratus tahun setelah masyarakat muslim membangun teknologi kertas di Samarkand, berkat jasa tawanan dari Cina. Pada saat itu kertas telah menjadi pengganti daun lontar dan kulit sebagai media informasi.
Berkat perkembangan tersebut masyarakat muslim telah berwujud menjadi “masyarakat buku”, mereka mengisi waktu dengan membaca dan menautkan pertalian antara ilmu, ibadah dan dakwah. Sehingga di abad ke -14 ini, industri buku telah menyebar ke penjuru dunia Islam.
Banyak dibangun ragam pustaka negara dan pustaka pribadi. Toko buku selalu berdampingan dengan masjid dan di lokasi strategis lainnya.
Demikian pula halnya dengan insan-buku: penulis, penerjemah, kolektor, penyalin, pewarna, pustakawan, penyewa, sarjana, pembeli dan penjual telah menjadi bagian dari peradaban buku yang menakjubkan.
Gairah ini tentunya secara infrastruktur diprakarsai oleh Khalifah Harun Arrasyid di Baghdad pada 830 M. Seluruh buku yang berbahasa Arab atau non Arab, Yunani, Persia dan Sansekerta menghiasai isi ruang perpustakaan yang mashur Baitul Hikmah.
Lalu dilanjutkan oleh anaknya Khalifah Makmun, yang bahkan mengirim banyak orang ke luar negeri (India, Syiria, Mesir) untuk mencari buku langka dan unik yang akan dipelajari, diterjemahkan dan disebarluaskan.
Sampai akhir abad ke-16, istilah ijarah (sewa buku untuk komersil) telah berkembang pesat di pusat pusat urban kaum muslim. Kenyataan ini jauh dari apa yang dicapai Eropa yang masih gelap” dan terkebelakang.
Namun, ditengah suburnya dunia perbukuan, seorang sarjana sekaliber Albiruni (namanya ada di kawah bulan, sebagai penghargaan dunia atasnya), membutuhkan empat puluh tahun untuk menemukan dan menyalin kitab Sifra Al Asraar, demikian juga Ibnu Rusydi yang gagal menemukan karya khusus Muktazilah.
Untuk itu semua, kita perlu mengembalikan gairah terhadap buku, kembali ke peradaban buku, kembali ke buku, guna menata kembali capaian kita yang materialistik dan lapuk ini.
Bahkan kita dihadapkan pada perkara yang lebih rumit dari generasi muslim awal dulu.
Hanya dengan dengan mengembalikan kebijakan informasi ke dalam matrik konsep Islam masyarakat ini dapat mewariskan energi intelektual dan produktivitas yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah kontemporer kita: saat semua kita dikepung derasnya laju era digital dan teknologi informasi yang cenderung bebas nilai.[]
Sumber Portalsatu Aceh. Taufik sentana. Judul : Back to Book, Bukan Romantisme.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.