Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Solehatun Marfuah

Pagebluk yang Di-yaudah-gapapa-in Aja

Lomba | Wednesday, 22 Sep 2021, 08:35 WIB
Seni menyikapi pandemi.

Sudah pasti banyak yang menuliskan tentang pandemi ini dengan lebih indah dan nyastra tanpa saya harus ikut-ikutan menjadi seperti yang lain. A – z sudah banyak yang dibahas oleh orang yang punya pengetahuan lebih luas jika harus mengalamatkan khazanah Corona ini. Gedibal satu ini juga sudah bikin orang-orang lebih ikhlas dalam menerima karena semesta telah memilih mereka sebagai penyintas.

Kemudian, sudah pada banyak yang berani untuk menelanjangi regulasi mencla-mencle ciptaan pemerintah yang ngebet kepingin kelihatan kerja. Banyak juga yang vokal mengeluhkan 2 tahun dengan sistem yang serba virtual. Ya capek lah, ya bosen lah. Ada pun yang degil katanya nggak mau percaya Corona itu ada. Yang koar-koar antivaksin juga nggak kehitung berapa orangnya.

Jauh dari mengeluh, yang kaya raya pun sibuk. Lain dari yang lain, mereka nih repotnya mikirin cara menghabiskan rupiah demi menjaga kesehatan jiwa. Ya pergi ke Bali lah, ya investasi Reksa Dana lah. Ya, pokoknya sibuk yang menyenangkan deh. Kita orang biasa duduk manis aja dengernya.

Begitulah ciamiknya manusia dalam beradaptasi dengan pandemi. Sebagai yang paling berakal, ada aja cara buat mereka mengekspresikan diri dalam situasi begini. Mentang-mentang yang paling berotak, lupa kalau yang menderita bukan mereka aja. Kayak yang paling tersiksa aja di dunia.

Menghadapi pandemi jangan sampai lah bikin kita buta bahwa tiap peristiwa ada masanya. Berurusan dengan Corona, anggap aja kayak sedang putus cinta. Sakit sih iya, tapi lama-lama juga ada terbiasa. Berhubungan dengan kesulitan pasti ada kesudahannya.

Ya, tinggal di-yaudah-gapapa-in aja gitu.

Pandemi menuntun kita kepada masa depan dan kenormalan baru. Karena pandemi juga nggak akan ada ujungnya, gitu. Dia juga nggak mau tuh ngikutin ekspektasi dan tuntutan dari manusia. “Pandemi, selesai dong!” kurang lebih begitu manusia komplain.

Kalau saya bilang, ya, beginilah cara kita hidup berdampingan dengannya. Kegiatan sehari-hari bertumpu di teknologi sebagai implementasi dari teori masyarakat modern. Mau pergi-pergi juga harus mawas diri; pakai masker, bawa alat makan sendiri dan cuci tangan sampai bosan. Ya, memang begitulah kehidupan di masa berikutnya.

Kita cuma punya satu nyawa untuk menyadari bahwa jika pandemi pergi, kemudian akan muncul kebiasaan-kebiasaan lama yang kelewat zaman. Seperti misalnya, telat ngantor karena macet. Lebih baik memanfaatkan sedikit waktu itu untuk move on dan go on with the flow, alon-alon asal kelakon.

Dunia pasca pandemi adalah keniscayaan. Bagaimana kita teredukasi lebih baik tentang suatu penyakit yang bisa tiba-tiba ada. Pernah begitu nggak sebelumnya? Saya pikir nggak. Dunia pasca pandemi mengajari manusia bahwa Internet of Things adalah masa depan peradaban. Pernah begitu nggak sebelumnya? Saya rasa nggak.

Katanya nih, ada hikmah di balik setiap musibah. Kemudian juga, ada kemudahan setelah kesusahan. Lantas, ini waktunya untuk kita menangkap esensi dari sebuah pandemi. Makna bukan sembarang makna, peristiwa ini adalah duka universal. Bukan satu, dua orang layaknya putus cinta.

Dan kemudian, kita akan menghidupkan anak-anak dengan pedoman yang baru. Kita akan menata konstruksi sosial seperti yang belum pernah ada. Contoh kasusnya nih, bagaimana sekarang masyarakat kita mampu menerima pernikahan yang sederhana aja, gitu.

Mempelai pria dan wanita dikelilingi keluarga yang berbahagia serta saksi yang seadanya. Nggak ada lagi panggung riuh, tamu gemuruh. Jujur, sebagai orang yang bakal nikah suatu hari nanti, peristiwa pandemi ini banyak menolong perubahan konstruksi sosial yang sebelumnya dikira absurd!

Begini maksudnya, ibaratkanlah kehidupan para dinosaurus pada saat meteor silaturahmi ke bumi ribuan tahun lalu. Apa yang terjadi pasca peristiwa itu? Di mana para dinosaurus itu berada sekarang? Beruntungnya kita di zaman sekarang nggak perlu hidup berdampingan dengan mereka. Repot, bray!

Yang tersisa saat itu adalah tiada. Karena keabadian itu, kan, kefanaan semata. Kehidupan berjalan kembali, meski butuh banyak waktu untuk revitalisasi di sana sini. Kecenderungan yang sama juga akan terjadi pasca pandemi.

Tulisan ini disusun sebagaimana adanya. Pelan-pelan saya menerima pandemi ini sebagaimana mestinya. Meski, ada kecewa karena kegiatan field trip gratisan dari kampus tiap semester terpaksa ditunda dulu. Tapi dirasa-rasa, semua orang punya masalah lebih serius untuk dikeluhkan daripada saya.

Intinya sih, sekarang cara paling dewasa melalui pandemi ini dengan legowo aja. Toh, kita juga nggak punya apa-apa di dunia ini untuk merasa kehilangan. Harta, keluarga dan warisan yang atas nama kita tidak akan membantu banyak kalau ruh sudah diangkat.

Yang terus membuat kita hidup adalah obsesi pada pengharapan di kehidupan. Kita melupakan bahwa tanpa pandemi sekali pun, kehidupan tidak terlalu berarti asanya. Kita hanya dikorupsi oleh kehidupan dan dinelangsakan oleh ketakutan.

Itu saja dari saya. Semoga tulisan ini sedikit membantu kamu untuk melegakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image