Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Menakar Prospektif Penggaraman Aceh

Bisnis | Monday, 20 Sep 2021, 10:06 WIB
Lahan produksi garam sistem jemur | Dokumentasi Pribadi

Provinsi Aceh merupakan daerah yang memiliki garis pantai yang panjang dan luas. Namun produksi garam di Provinsi Aceh belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri dengan baik dikarenakan teknologi yang belum memadai dan keadaan cuaca yang tidak menentu, meskipun Provinsi Aceh memiliki daerah penghasil garam.

Akibatnya Aceh harus mengimpor garam dari luar untuk memenuhi kebutuhan domestik. Menurut Fakhrul Razi et al. (2016) Aceh mengimpor garam rata-rata 6.581,3 ton/tahun.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh, Pemerintah Aceh melaksanakan program berkenaan dengan ketahanan pangan adalah program Aceh Meugoe dan Aceh Melaout serta Aceh Troe dalam mewujudkan ketersediaan pangan. Salah satunya adalah produksi garam yang menjadikan Provinsi Aceh sebagai sentra garam di wilayah barat Indonesia.

Saat ini sentra garam di Aceh tersebar di 8 kabupaten, 30 kecamatan, 38 mukim dan 56 Gampong dengan jumlah petani garam sebanyak 1.667 jiwa dengan jumlah produksi mencapai ±12.000 ton per tahun. Umumnya petani garam adalah masyarakat lokal dengan suku asli Aceh dengan tingkat pendidikan lulus sekolah dasar.

Dengan kondisi sumber daya manusia yang tergolong rendah, dapat dipastikan bahwa pola pikir (mind setting) dari masyarakat tersebut sangat sulit dalam manajemen usaha yang dijalankan dalam rangka pengembangan kedepan.

Selain itu juga masyarakat (petani garam) sangat sulit menerima alih teknologi dalam usaha pembuatan garam, bahkan masih banyak menggunakan metode sederhana yaitu dengan cara merebus. Oleh karena itu tidak optimal dalam produksi untuk memenuhi kebutuhan garam industri dan rumah tangga.

Dalam aspek pemasaran garam yang dihasilkan dari proses pemasakan air laut tua dijual melalui pedagang pengumpul dengan harga Rp2.000 Rp3.000/kg. Fluktuasi harga tergantung pada kondisi musim atau cuaca. Pada saat musim hujan, harga garam cenderung naik, begitu juga sebaliknya, pada saat musim kemarau, produksi garam meningkat sehingga menyebabkan harga garam menjadi turun.

Hal ini sesuai dengan hukum ekonomi yang menyatakan jika penawaran meningkat, maka harga suatu produk turun, dan jika penawaran turun, maka harga akan naik.

Kebutuhan garam yang terproyeksi saat ini, masih terbatas pada konsumsi rumah tangga dengan kebutuhan total ±14.400 ton per tahun dari total produksi petambak ±12.000 ton/tahun dimana konsumsi lokal masih minus.

Sedangkan untuk kebutuhan industri belum terdata dengan baik, dan untuk kebutuhan garam industri termasuk Industri Kecil Menengah (IKM) masih menggunakan garam impor atau didatangkan dari daerah lain.

Panen garam di Kabupaten Pidie Jaya

Kebutuhan Garam Industri Kecil Menengah (IKM)

Selain kebutuhan garam untuk konsumsi rumah tangga khususnya garam dapur. Beberapa sektor IKM atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga membutuhkan garam sebagai bahan produksi produknya. diantara sektor UMKM yang membutuhkan garam adalah industri pangan, pengolahan perikanan khususnya ikan asin, pabrik es, Air Minum Dalam Gelas (AMDK) sebagai bahan pembersih, peternakan hingga perkebunan seperti untuk garam abu sulfur atau kalium sulfat (K2SO4) yang dimanfaatkan sebagai pupuk.

Jumlah UMKM di Provinsi Aceh pada tahun 2004 sebanyak 29.457 unit. Pada tahun 2005 jumlah UMKM meningkat sebanyak 2 persen menjadi sebanyak 30.046 unit. Peningkatan jumlah UMKM yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2006 yaitu sebanyak 44.975 unit atau sebesar 49,69 persen.

Hal ini tidak terlepas dari banyaknya lembaga asing dan non government organization (NGO) baik lokal maupun internasional yang melakukan program pengembangan ekonomi masyarakat dalam rangka pemulihan, rekontruksi dan rehabilitasi pasca musibah gempa dan tsunami.

Peningkatan jumlah UMKM terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya sampai tahun 2018 dengan rata-rata pertumbuhan 7,8 persen setiap tahunnya. Jumlah UMKM Provinsi Aceh saat ini tercatat sebanyak 80.471 unit meningkat dari tahun 2016 yang hanya 75.207 unit.

Dengan jumlah UMKM yang demikian besar tentu menjadi peluang bagi pelaku usaha garam untuk memenuhi permintaan. Jika kita mengacu pada permintaan garam oleh industri nasional yang mencapai 60 persen atau setara 3,19 juta ton (neraca garam nasional 2018) dari total permintaan garam, ini artinya tingkat kebutuhan garam industri lebih tinggi dari garam konsumsi.

Mungkin perbedaannya adalah di Propinsi Aceh tidak terdapat industri-industri skala besar yang banyak. Hanya ada beberapa perusahaan saja seperti di kawasan industri Lhokseumawe. Sehingga tingkat permintaan garam industri tidak sebesar secara nasional.

Pun demikian, dari hasil survei yang telah dilakukan oleh tim penyusun Masterplan Kawasan Ekonomi Garam Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh pada bulan April hingga Mei 2019 ditemukan tingkat kebutuhan garam jenis garam industri ternyata juga ada namun untuk skala industri UMKM.

Berdasarkan data sementara yang telah dikumpulkan dari sektor-sektor UMKM yang menggunakan garam dalam kegiatan produksinya antara lain usaha pengolahan ikan asin, industri makanan/pangan, restoran, pabrik es, usaha ice cream, perhotelan, peternakan, dan perkebunan.

Dari sektor-sektor tersebut secara kuantitatif penggunaan garam pada usaha ikan asin, pabrik es, industri makanan tergolong banyak. Misalnya pabrik es dengan kapasitas produksi 30 ton per hari membutuhkan garam 2-6 ton per bulan. Untuk garam pada pabrik es harus memenuhi spesifikasi khusus. Dan garam jenis ini didatangkan dari luar daerah.

Kelayakan Ekonomi

Sementara dari aspek kelayakan ekonomi menurut Marzuki et al (2014) berdasarkan analisis finansial yang telah dilakukan, dengan menggunakan dua analisis finansial yaitu Net Present Value (NPV) dan analisis rugi laba, dapat dikatakan bahwa usaha garam yang ada di Provinsi Aceh layak dijalankan meski hanya mendapatkan keuntungan yang sangat minim.

FGD Penggaraman Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh

Performa produksi garam

Meskipun potensi kebutuhan pasar garam di Aceh dan wilayah pulau Sumatera sangat besar, namun produksi garam di Aceh secara nasional masih sangat kecil. Berdasarkan data KKP baru mencapai 9.136 ton.

Apabila memperhatikan rata-rata konsumsi garam dihitung dari AKG, maka produksi garam di Aceh telah mencukupi kebutuhan dosmestik. Namun bila dihitung dari angka survei konsumsi rumah tangga terhadap garam dapur yang mencapai 14.800 ton per tahun, maka produksi garam di Aceh baru memenuhi sekitar 61,72% garam rumah tangga, dan artinya pemenuhannya ditutupi dari daerah lain.

Rumah Garam binaan BUMN

Potensi pengembangan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Aceh memiliki sumber daya alam yang sangat mendukung untuk meningkatkan produksi garam. Dengan potensi geografis dan jumlah lahan yang tersedia masih berpeluang besar untuk mendorong tercapainya swasembada garam bahkan bisa terjadi surplus.

Guna mencapai target pengembangan garam dan produksi garam rakyat. Pemerintah Aceh dan KKP harus menyiapkan anggaran yang memadai untuk melakukan beberapa intervensi program. Misalnya program peremajaan lahan, intensifikasi lahan, diversifikasi garam dan mutu, permodalan usaha, pelatihan SDM, infrastruktur (sarana), tata niaga dan rantai distribusi, dan teknologi.

Berdasarkan pemaparan di atas maka pemerintah mendorong agar industri garam di Provinsi Aceh dapat menjadi salah satu lumbung garam nasional melalui strategi produksi untuk memenuhi kebutuhan garam yang semakin meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi rumah tangga maupun sektor industri UMKM.

Dengan melakukan pemetaan penggaraman Aceh dari hulu sampai hilir secara baik, maka pembangunan industri garam Aceh dapat dilaksanakan secara sistematis, terencana, dan berkelanjutan.

Guna mewujudkan hal tersebut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia telah menetapkan Provinsi Aceh sebagai daerah sasaran pengembangan usaha garam rakyat menuju industri garam dengan skala yang lebih besar.

Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah penyusunan rencana induk (Masterplan) dan peta jalan (Roadmap) pengembangan kawasan ekonomi garam di Aceh sebagai landasan berpikir dan bahan perencanaan masa akan datang.(*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image