Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wishnu Mahendra

Revolusi Hijau Pasca Pandemi

Lomba | Saturday, 18 Sep 2021, 21:03 WIB
Sumber foto : Republika.co.id

Virus Covid-19 yang mewabah ke seluruh dunia telah memaksa manusia untuk menghentikan sejenak "kegenitannya" terhadap alam.

Aktivitas manusia modern baik dalam upaya mempertahankan hidup maupun fungsinya sebagai makhluk sosial sejauh ini telah memberi dampak negatif bagi kelestarian alam berupa tingginya angka pencemaran emisi gas karbon. Penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil serta kegiatan industri pabrik yang terus menerus menjadi penyebab utama menurunnya kualitas udara.

Ditambah lagi dengan semakin berkurangnya jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) akibat dari massifnya pembangunan infrastruktur. RTH berfungsi sebagai paru-paru kota yang menyerap polusi dan menghasilkan oksigen.

Udara yang bersih merupakan kebutuhan dasar manusia dan makhluk hidup lainnya. Sebab dengan udara yang bersih, sistem pernapasan dalam tubuh akan tetap sehat dan terhindar dari berbagai resiko penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut, asma, paru-paru basah, dan jantung.

Berdasarkan riset Global Alliance on Health and Polution (GAHP), polusi udara menyumbang 40% kematian dunia dengan angka kematian mencapai 3,4 juta jiwa pada tahun 2017. Pada riset tersebut, Indonesia menempati urutan keempat di bawah India, China dan Nigeria sebagai negara penyumbang kematian terbesar akibat polusi dengan jumlah kematian mencapai 232,9 ribu jiwa.

Sebuah angka fantastis yang tidak kalah berbahayanya dengan korban jiwa akibat pandemi Covid-19.

Tingginya angka kematian akibat polusi udara ini kerap terabaikan dengan berlindung dibalik dalih peningkatan ekonomi dan kemajuan industri. Masyarakat global menjadi dilematis antara memprioritaskan aspek ekonomi atau aspek kesehatan. Sama halnya yang terjadi saat pandemi Covid-19, ekonomi dan kesehatan seolah bertolak belakang.

Namun, dengan menyebarnya virus Covid-19, manusia tak lagi berkompromi. Adanya kebijakan lockdown yang berlaku hampir di semua negara, akhirnya memaksa jutaan kendaraan bermotor harus terparkir rapi di garasi rumah. Pabrik-pabrik industri yang setiap harinya menghasilkan kepulan asap hitam melalui cerobong kini sejenak berhenti berproduksi.

Pada tahun 2020 kemarin, badan antariksa milik Amerika Serikat yaitu National Aeronatics and Space Administration (NASA) menerbitkan hasil penelitian yang membuat ahli lingkungan hidup seluruh dunia tercengang. Pasalnya, kadar emisi gas karbon dan nitrogen dioksida secara global menurun sebesar 30 persen. Penurunan ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia modern.

Meskipun begitu, menurut Christoph Keller, ilmuwan yang memimpin proyek penelitian, penurunan polusi udara yang dihasilkan akibat kebijakan lockdown hanya bersifat sementara. Ia memprediksi kenaikan kadar emisi gas karbon perlahan akan meningkat kembali setelah pandemi berakhir, bahkan bisa lebih tinggi dibanding sebelumnya karena upaya sektor industri dalam mengejar ketertinggalan.

Andai pandemi pergi, polusi udara hendaknya tidak semakin meningkat.

Sumber foto : Republika.co.id

Oleh karena itu, untuk meminimalisir polusi udara pasca pandemi, ada beberapa hal yang kiranya bisa menjadi solusi. Yang pertama, beberapa kebiasaan selama lockdown hendaknya dipertahankan walaupun tidak maksimal.

Kebijakan seperti Work From Home (WFH) bisa terus berlaku dengan sistem 6 berbanding 1 artinya dalam enam hari kerja ada satu hari dimana karyawan diwajibkan bekerja dari rumah. Begitu juga dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun universitas. Agar produksi emisi gas karbon melalui kegiatan transportasi bisa berkurang.

Kemudian solusi yang kedua adalah menggalakkan gerakan revolusi hijau. Dengan semakin berkurangnya lahan RTH di perkotaan, maka menyebabkan semakin tingginya tingkat pencemaran udara. Padahal menurut Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota di Indonesia wajib menyediakan RTH sebesar 30 persen dari luas wilayah. Faktanya, saat ini, tidak ada satupun kota besar di Indonesia yang menjalankan mandat dari UU tersebut.

Untuk menyiasati semakin sempitnya lahan RTH, solusinya adalah dengan program membonzai tanaman. Pohon dengan kemampuan besar menyerap gas karbon seperti Trembesi dibonzai sedemikian rupa kemudian ditempatkan pada atap rumah, gedung perkantoran, hotel, apartemen, rumah sakit dan sebagainya. Sehingga dari atas terlihat gedung-gedung pencakar langit tersebut menghijau.

Pohon Trembesi adalah tanaman yang sejak lama dikenal mampu menyerap polusi udara. Satu batang Trembesi bisa menyerap 28,5 ton gas Karbondioksida, Nitrogen Dioksida dan Timbal pertahunnya. Dengan teknologi bonzai, kemampuan Trembesi mungkin berkurang namun secara teknis tidak mempengaruhi fungsinya menyerap polusi udara.

Andai pandemi pergi, ia telah mengajarkan banyak hal. Sungguh merugi jika kita tidak bisa memetik satu saja solusi yang muncul dari adanya pandemi ini. Penurunan tingkat emisi gas karbon secara drastis sangatlah miris jika hanya bisa terwujud melalui adanya pandemi mematikan yang telah merenggut jutaan nyawa dan merugikan berbagai sektor kehidupan.

Kita bisa, kita wajib, mulai dari sekarang untuk peduli pada kelestarian lingkungan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image