Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wahyu Utami

Pandemi dan Tantangan Penggunaaan Platform Teknologi di Sekolah Dasar

Guru Menulis | Saturday, 18 Sep 2021, 14:29 WIB

Taukah Bapak dan Ibu Guru dengan Zoom, Skype, CK-12, Khan Academy, Ruangguru, Google Classroom, Class Dojo, Schoology, Seesaw, Edmodo, Peerseck, Edpuzzle, Clastime dan lain-lain? Jangan-jangan ada di antara kita yang belum pernah menggunakan? Atau bahkan mendengar saja belum pernah? Merasa sangat asing dan bahkan sudah apatis duluan untuk mengetahuinya.

Ya, hal ini sangat wajar terjadi karena selama ini kita terbiasa dengan pola pembelajaran konvensional yang menggunakan metode tatap muka untuk mentransfer ilmu ke siswa. Guru merasa tidak memerlukan variasi dalam kegiatan belajar mengajar dengan berbagai alasan. Dari mulai alasan usia, gagap teknologi, sudah capek dengan berbagai tugas, alat yang tidak mendukung dan alasan-alasan lain.

Akan tetapi, sejak Maret 2020, pandemi Covid-19 yang menerjang Indonesia telah mengubah segalanya. Penyebaran virus yang masif dan cepat memaksa dunia pendidikan berubah total. Ruang-ruang kelas yang biasanya ramai mendadak sunyi. Tak ada lagi suara Bapak dan Ibu Guru mengajar. Begitu pula suara celoteh nyaring anak-anak. Belajar berpindah dari bangku sekolah ke rumah.

Di sini para guru harus berpikir keras agar materi pelajaran tetap sampai kepada siswa dengan baik. Para gurupun dituntut untuk mau beradaptasi dengan metode mengajar baru yang harus memanfaatkan berbagai platform teknologi. Siapkah para guru dengan perubahan yang mendadak dan cepat ini?

Bisa dipastikan mayoritas para guru gagap dan tidak siap. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Teknologi Informasi Pendidikan dan Kebudayaan, kompetensi guru terhadap teknologi dan informasi masih di bawah 50%. Saat ini juga masih terdapat 42.159 sekolah atau satuan pendidikan yang belum dapat mengakses internet dan 8.522 sekolah belum teraliri listrik.

Guru saat ini merupakan generasi digital Immigrants dimana kita lahir sebelum teknologi lahir. Sedangkan anak yang kita ajar merupakan generasi digital Natives yaitu generasi yang lahir dimana teknologi sudah berada di lingkungan. Oleh karena itu guru dituntut untuk menyesuaikan diri. Keterbatasan alat dan kemampuan harus segera diselesaikan karena tuntutan zaman mengharuskan demikian.

Hanya saja ternyata implementasi di lapangan pun menemui kendala yang tidak ringan. Anak-anak Sekolah Dasar mayoritas masih belajar dengan pendampingan orang tua. Alat yang digunakan baik handphone maupun laptop juga bersama dengan orang tua. Pengalaman penulis saat menawarkan penggunaan google classroom ternyata mendapatkan penolakan dari orang tua siswa. Orang tua merasa sudah pusing dengan tugas mendampingi anak-anak belajar sehingga tidak mau jika harus mencoba berbagai platform teknologi yang ada. Padahal sebenarnya berbagai platform teknologi tersebut akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas belajar.

Belum lagi alasan orang tua bahwa alat yang digunakan tidak support jika masih harus ditambah dengan platform teknologi yang bermacam-macam. Banyaknya anak dalam satu rumah dengan keterbatasan alat akhirnya menjadi alasan yang cukup banyak mengemuka. Ada pula yang terkendala sinyal maupun kuota.

Nah, lagi-lagi penggunaan Whatshap sebagai aplikasi paling populer yang digunakan saat ini menjadi pilihan utama guru dan orang tua untuk melakukan kegiatan belajar dari rumah. Padahal Whatshap sangat terbatas fiture yang bisa digunakan.

Inilah tantangan-tantangan yang menjadi pekerjaan rumah dunia pendidikan khususnya tingkat Sekolah Dasar di era pandemi maupun di era mendatang. Semua persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan dalam skala individu siswa, orang tua maupun guru. Masalah yang ada kompleks dan sistemik karena melibatkan berbagai komponen.

Di Indonesia, Undang-Undang mengatur pendidikan merupakan hak setiap warga negara tanpa kecuali. Jangan sampai hanya anak-anak yang tinggak di kota dan berduit saja yang bisa menikmati berbagai kemajuan dalam teknologi. Anak-anak yang lahir dari keluarga kurang beruntung atau tinggal di wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) hanya bisa pasrah menerima berbagai kendala saat belajar daring.

Di sinilah dibutuhkan political will dari negara untuk memprioritaskan dunia pendidikan baik dari sisi anggaran dana pendidikan, pembangunan infrastruktur teknologi, peningkatan kompetensi guru maupun kemudahan akses pendidikan bagi siswa dimanapun dan kapanpun. Bukankah amanat pembukaan UUD 1945 jelas menyatakan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara?

Semoga pandemi Covid-19 ini menjadi titik balik kemajuan pendidikan ke depannya. Pandemi ini telah menjadi alarm keras yang mengingatkan keseriusan dari semua pihak untuk membenahi dunia pendidikan. Tidak hanya guru tentunya karena bagaimanapun pendidikan melibatkan beberapa komponen yang harus saling mendukung. Salam guru hebat.

#GuruHebatBangsaKuat#

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image