Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sofia Aurora Septiani

Andai Pandemi Pergi

Lomba | Thursday, 16 Sep 2021, 18:08 WIB

Sudah hampir satu setengah tahun aktivitas kita sangat dibatasi. Selama itu pula banyak perubahan dalam kehidupan ini, seperti "digitalisasi" dan "virtualisasi" masif dalam dunia pendidikan, perekonomian, bahkan hiburan dan rekreasi. Para siswa dan mahasiswa bertemu guru dan dosennya dengan memandang layar kaca, pedagang dan pembeli mengurangi interaksi, bahkan keluar mencari udara segar pun terikat oleh aturan demi menjaga kesehatan. Semua itu karena luasnya penyebaran Covid-19 yang telah dinobatkan sebagai pandemi, sebab jangkauannya adalah seluruh Bumi.

Satu setengah tahun berlalu sejak diumumkannya kasus Covid-19 pertama di dunia. Bagaimana kabarnya penduduk planet ini, khususnya negara kita tercinta, Indonesia?

Sebelum kasusnya ditemukan di Nusantara, pemerintah Indonesia menutup mata dari masalah virus ini. Ada yang mengatakan bahwa negara kita akan terbebas dari serangannya karena berada di wilayah tropis, ada anggapan bahwa virus ini hanya didapat setelah mengonsumsi makanan dari pasar hewan seperti di China—negara muasalnya, bahkan ada celetukan bahwa warga Indonesia bebas Covid-19 karena menjadikan nasi sebagai santapan utama. Namun, setelah di Indonesia ditemukan kasusnya, lalu diketahui bahwa virus ini dapat menular dengan cepat dan amat mengancam, para pengoceh pun bungkam, dan Indonesia tak lagi diam. Mulai dari pembentukan satgas, lock down, PSBB, WFH, PPKM, new normal, dan beragam langkah lainnya telah diambil, demi meminimalisir korban jiwa dan harta. Meskipun tak terelakkan bahwa pemberlakuan beberapa program secara terus-menerus (terutama lock down, PSBB, dan PPKM) akhirnya membuat banyak masyarakat menderita, lalu malah "menantang", "pura-pura tidak tahu", atau "tidak peduli" akan penerapannya, disebabkan kondisi mereka yang terdesak terutama secara ekonomi.

Setelah berbagai masalah dan solusi diajukan, berjalanlah program yang paling membuat kemajuan, yaitu vaksinasi. Saat ini, dengan syarat "telah divaksin", tumbuh harapan dan keberanian pada banyak pihak untuk menggiatkan kembali aktivitas meskipun masih terbatas. Di Indonesia dan banyak negara lainnya, warga yang telah divaksinasi mendapat lebih banyak keleluasaan dibanding yang belum divaksinasi. Kini, selain memakai masker dan cek suhu tubuh, syarat memasuki tempat-tempat umum adalah "kartu vaksin". Berbelanja menggunakan kartu vaksin, menumpang transportasi umum dengan kartu vaksin, hingga pembelajaran tatap muka pun dengan syarat telah divaksinasi, yang dibuktikan dengan kartu vaksin. Kartu ini menghidupkan kembali pasar dan pertokoan yang mati, otak kritis siswa yang mengalami learning loss, serta mengurangi resah pedagang dan pengelola tempat wisata yang lama ditinggal pengunjungnya.

Kini pandemi seolah pergi, lenyap dari dunia ini. Apakah pandemi bisa benar-benar pergi?

Di antara kemungkinan jawabannya, predikat pandemi nantinya bisa saja hilang, jika Covid-19 tidak lagi menyebar secara ekstrem di seluruh dunia. Seperti flu dan cacar yang dulu adalah wabah mematikan—namun kini digelari gangguan kesehatan biasa, Covid-19 kelak juga dianggap tidak istimewa. Budaya 3M, 5M, hingga 7M, lambat laun akan memudar. Kebiasaan mencuci tangan mungkin akan tetap ada meski tanpa diingatkan, namun tren masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan akan menghilang. Cepat atau lambat, seluruh manusia akan kembali ke fitrahnya.

Lenyapnya status pandemi membuat banyak orang mungkin bernostalgia akan suasana 2-3 tahun sebelum pandemi berlangsung. Banyak orang mungkin senang, namun tidak sedikit yang malah malas dan merindukan suasana penuh daring (dalam jaringan/online) dan fleksibilitas di masa pandemi (dengan mengecualikan dampak negatifnya dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan lain-lain). Berakhirnya pandemi menandakan akhir dari sejumlah perilaku dan situasi yang mungkin pernah membuat kesal atau menjadi viral (terkenal). Bagi para pelajar dan pekerja, mereka harus kembali bepergian ke sekolah dan kantor, menjalani rutinitas tanpa perlu daring, dan terputusnya subsidi kuota internet. Bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang terdampak pandemi akan terhenti, kehidupan pedagang tidak lagi banyak disoroti, dan topik demonstrasi masyarakat akan banyak berganti, tidak lagi seputar pandemi. Hanya beberapa saat setelah pemerintah resmi mengumumkan pensiunnya kerja Satgas Covid-19 secara nasional, rakyat akan berpesta pora. Kembang api dinyalakan, kemeriahan sekian kali Idul Fitri, sekian kali Idul Adha, sekian kali tujuh belasan, dan peristiwa-peristiwa besar lainnya akan terakumulasi dalam perayaan nasional yang mungkin diadakan seminggu penuh kali dua puluh empat jam. Kelalaian penerapan protokol kesehatan bukan lagi pelanggaran, karena kondisi telah dianggap aman. Jangankan warga biasa, aparat penertib pun kelak ikut bersuka ria membebaskan diri dari tugasnya. Hari lenyapnya istilah "pandemi" bagaikan kemerdekaan kembali untuk setiap negara di dunia. Segala penerbangan, kapan pun, di mana pun, ke mana pun, membawa siapa pun, akan dibuka. Negara yang sudah lama tidak memperoleh kuota umrah dan haji—seperti Indonesia—kembali mendapat jatahnya, dan banyak lagi hal yang dibuka di seluruh dunia. Boleh jadi, slogan yang digaungkan adalah, "Buka masker, buka dunia".

Pandemi, oh pandemi. Jika ia pergi, dunia penuh euforia. Jika ia pergi, mungkin banyak hal akan dirindukan, banyak hal pantang dilupakan, dan banyak hal menjadi batu loncatan yang mengubah hidup atau pandangan. Kreativitas banyak tumbuh ketika pandemi, adanya momen untuk keluarga, waktu beristirahat, juga kesempatan merenungkan hakikat kehidupan. Pandemi bisa sangat berkesan walaupun tidak ingin lagi dirasakan.

Andaikan pandemi pergi, tempat umum tak lagi sepi. Andaikan pandemi pergi, anak-anak bebas bermain lagi. Andaikan pandemi pergi, kejenuhan tak lagi merajai. Andaikan pandemi pergi, tiada lagi kemunduran ekonomi. Andaikan pandemi pergi, masker tak lagi menutupi. Andaikan pandemi pergi, tugas daring tak lagi menghantui.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image