Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahid

Pengelola Dana Haji Harus Berinovasi Tiada Henti

Lomba | Thursday, 16 Sep 2021, 09:27 WIB

Oleh: Syahid Tohir

Indonesia negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Sejak tahun 2017 hingga 2020, kuota jamaah haji Indonesia sebanyak 221.000 per tahun. Semakin meningkatnya animo masyarakat untuk berangkat haji serta terbatasnya kuota haji menyebabkan daftar tunggu pemberangkatan haji semakin panjang.

Salah satu aspek yang krusial dalam penyelenggaraan haji adalah pengelolaan dana haji. Jumlah jamaah haji yang besar dan waiting list yang panjang menyebabkan akumulasi dana haji sangat besar. Sebagai ilustrasi, jika besaran setoran awal haji Rp 25 juta/jamaah dan jumlah jamaah haji 220 ribu orang/tahun, maka total dana haji yang terkumpul sebesar Rp 6,6 triliun/tahun. Dana sebesar ini diperlukan tata kelola yang baik, benar, profesional, transparan dan amanah, serta terhindar dari terjadinya permasalahan hukum.

Pada awalnya dana haji dikelola langsung oleh Kementerian Agama (Kemenag) berdasarkan Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 1999. Hal tersebut menimbulkan tantangan berupa cakupan tanggung jawab yang terlalu luas dan kemampuan pengelolaan yang belum mumpuni. Kemudian pihak pengelola Dana Abadi Umat (DAU) diubah menjadi Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) dengan diawasi Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) berdasarkan UU nomor 13 tahun 2008.

Dana haji dibagi dua yaitu dana setoran awal berupa biaya pengelolaan ibadah haji (BPIH) dan dana hasil efisiensi. BPIH disetorkan ke rekening Menteri Agama (Menag) melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk dan dikelola oleh menteri dengan mempertimbangkan nilai manfaat, kemudian sebagian dana tersebut diinvestasikan pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara. Selanjutnya, nilai manfaat dari hasil optimalisasi tersebut digunakan membayar berbagai biaya operasional jamaah haji di Arab Saudi. Adapun hasil efisiensi penyelenggaraan haji masuk ke rekening DAU dan digunakan untuk pelayanan ibadah haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah. Intinya, Pengelolaan BPIH dilakukan oleh Kemenag. Sedangkan pengelolaan DAU dilakukan oleh BP DAU di mana Menag selaku ketua/penanggung jawab BP DAU. Dengan demikian, baik pengelolaan BPIH maupun DAU sepenuhnya berada di bawah Kemenag.

Pengelolaan dana haji kemudian dikelola berdasarkan UU nomor 34 tahun 2014 yang memberikan wewenang lebih luas kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dalam investasi produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya dengan pengawasan KPHI. Regulasi tersebut mulai dijalankan pada 17 Oktober 2014. Pemerintah secara resmi mendirikan BPKH sebagai lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan haji pada 26 Juli 2017 melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 74/P tahun 2017.

BPKH mengelola keuangan haji berasas pada prinsip syariah, kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan dan akuntabel. Pengelolaan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, meningkatkan rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH serta memberi manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.

Berdasarkan laporan keuangan 2019 yang dipublikasikan, BPKH mengalami peningkatan dana yang dikelola. Hingga akhir 2019 posisi dana kelolaan mencapai Rp124,32 triliun. Jumlah ini meningkat Rp11,97 triliun dari posisi akhir 2018 sebesar Rp112,35 triliun. Dari laporan keuangan tersebut, 43,68% terkonsentrasi pada penempatan dana di deposito bank penerima setoran (BPS) BPIH. Sisanya 56,32% ditempatkan pada investasi. Selanjutnya, berdasarkan amanah PP nomor 5 tahun 2018, setelah 3 tahun BPKH terbentuk, pengeluaran keuangan haji dalam bentuk penempatan produk perbankan syariah maksimal 30% dari total penempatan dan investasi.

Ijtihad mengelola keuangan haji yang dilakukan BPKH dalam investasi tidak lepas dari pro dan kontra. Misalnya, dalam Soal Jawab majalah Tsaqafia (9/2017), bolehkah dana haji umat diinvestasikan? KH. Hafidz Abdurrahman menjelaskan hukum asal calon jamaah haji yang menyetorkan dananya kepada pemerintah adalah akad wadi'ah (titipan). Hukum asal wadi'ah sebagai amanah, tidak boleh digunakan oleh pihak yang mendapatkan amanah (mustawda'). Jika mustawda' menggunakan harta wadi'ah untuk usaha, maka keuntungannya tetap menjadi hak pemiliknya. Jawaban ini disandarkan pada pendapat Imam Malik, al-Laits, dan Abu Yusuf.

Meski pandangan ini bagi sebagian kalangan dianggap sebagai pendapat yang kaku, jika merujuk pada prinsip syariah dan kehati-hatian, BPKH sudah semestinya menampung pandangan yang bisa jadi berseberangan dengan ijtihadnya.

Memang permasalahan ini ikhtilaf di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Zufar dan Muhammad bin Hasan Syaibani berpendapat bahwa harta pokok wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan keuntungannya disedekahkan. Sebagian lain berpendapat, pemilik harta mendapatkan harta pokok dan keuntungannya. Sebagian lain lagi berpendapat, pemiliknya diberi pilihan antara harta pokok dan keuntungannya. Semua itu dengan catatan penggunaan harta titipan mendapatkan izin dari pemiliknya, agar tidak termasuk dalam kategori ghashab.

Dari permasalahan inilah, BPKH dituntut untuk senantiasa berinovasi tiada henti. Salah satunya, mengakomodir pandangan-pandangan yang berseberangan. Dalam hal ini misalnya BPKH membuat skema dua macam opsional akad wadiah, yakni wadiah murni dan wadiah yang menghasilkan manfaat. Dengan skema ini, calon jamaah haji diberi kebebasan untuk memilih akad mana yang sesuai dengan prinsip ijtihad pilihannya. Sebagai alternatif untuk menutupi operasional pengelolaan wadiah murni, biaya administrasi bulanan yang sewajarnya dapat dibebankan kepada calon jamaah yang memilih akad ini. Tentunya, masih ada skema lain yang lebih inovatif dalam menyelesaikan problematika ini.

Alhasil, dengan senantiasa berinovasi tiada henti serta berpegang pada prinsip syariah dan hati-hati, BPKH di mata umat dikenal sebagai pengelola keuangan haji yang layak dipuji sampai nanti. Wallahu a’lam bis shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image