Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Wisata Halal Sulit Berkembang Jika Pemerintah Mengeluarkan Kebijakan Kontraproduktif

Wisata | Wednesday, 15 Sep 2021, 20:57 WIB
(Objek Wisata Halal, Panorama Masjid Sri Sendayan di Negeri Sembilan Malaysia/Dokumentasi Pribadi)

Pemerintah menginginkan Indonesia mampu bersaing dengan negara lain dalam hal wisata halal. Tidak tanggung-tanggung, menjadi pusat wisata halal dunia.

Namun kebijakan pemerintah sendiri tidak begitu kuat dalam mendukung implementasi wisata halal. Sebagai contoh, izin memproduksi minuman keras (miras) masih diterbitkan. Konon Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) pun memberi ruang yang besar bagi asing untuk membangun industri miras di Indonesia.

Tetapi anehnya, Wakil Presiden (Wapres) RI KH Ma'ruf Amin malah menyebut, kendala pengembangan wisata halal di tanah air disebabkan tingkat literasi masyarakat yang rendah.

Karenanya Wapres Ma'ruf Amin meminta agar literasi masyarakat tentang konsep wisata halal ditingkatkan agar sektor wisata halal dapat berkembang lebih cepat. Namun Wapres tidak merinci literasi wisata halal seperti apa yang dimaksud.

Meski demikian Ma'ruf Amin memberi petunjuk jika konsep wisata halal yang dirancang oleh pemerintah yakni pemenuhan fasilitas layanan halal yang ramah bagi wisatawan muslim (moslem friendly tourism) di destinasi wisata.

Fasilitas tersebut antara lain, mulai dari akomodasi, restoran atau makanan halal, tempat ibadah yang memadai, serta fasilitas layanan halal lainnya.

Pemerintah kata Wapres menilai perlunya penerapan konsep wisata halal tersebut. Mengingat Indonesia memiliki potensi yang demikian besar untuk dapat dikembangkan sebagai sumber ekonomi di bidang pariwisata.

Kalau bicara potensi, Indonesia memang mempunyai segalanya. Panorama alam yang sangat indah, cuaca yang pas bagi wisatawan mancanegara, ditambah lagi biaya hidup yang lebih murah dibanding negara-negara Eropa. Semua ini bisa dijadikan sebagai keunggulan kompetitif.

Tetapi bila bicara tentang infrastruktur, maka Indonesia masih banyak yang harus dibenahi. Selain ketersediaannya, juga konektivitasnya masih terputus-putus.

Apalagi dengan perubahan tren sekarang. Wisatawan menginginkan agar destinasi wisata nyaman untuk dikunjungi. Itu tidak bisa tawar menawar lagi. Sudah menjadi kebutuhan para pelancong atau turis baik domestik maupun asing.

Jadi menurut hemat penulis, hambatan pengembangan wisata halal di Indonesia bukan terletak pada literasi, meski itu juga penting. Namun ada pada faktor infrastruktur, kemanan, layanan, dan budaya.

Bahkan budaya masyarakat menjadi faktor utama atau variabel utama dalam pengembangan wisata halal. Bagaimana tidak? Gegara budaya tidak disiplin, gaya hidup tidak bersih, etos kerja yang buruk, membuat wajah wisata halal jadi buram.

Sebetulnya masyarakat bukan tidak paham dengan konsep wisata halal itu. Tapi mereka terlanjur memiliki budaya wisata yang diadopsi dari negara lain yang cenderung serba boleh. Misalnya tersedia minuman keras, jajan perempuan, pesta seks, dan sebagainya.

Seolah bila tidak demikian, maka tidak disebut tempat wisata. Intinya wisata itu identik dengan hura-hura, mabuk, bebas apa saja, dan sederet aktivitas budaya barat yang dianggap sudah biasa.

Anehnya lagi yang melakukan hal itu juga termasuk wisatawan muslim. Mereka juga ikut-ikutan bebas bagai di Hawaii. Ini kan aneh?

Beda halnya jika masyarakat tidak mengetahui apa-apa yang dilarang. Maka tepat dengan hasil analisa Wapres Ma'ruf Amin bahwa perlu meningkatkan literasi wisata halal.

Coba bayangkan, Indonesia berpenduduk mayoritas muslim. Hampir 90 persen penganut Islam. Mustahil bila tidak mengetahui soal halal dan haram. Sejatinya wisata halal itu bukan barang baru.

Kita memang tidak menolak usul Pak Wapres. Tetapi pengembangan wisata halal harus pula dibarengi dengan pembangunan fisik dan sarana pendukung utama kepariwisataan yang memadai. Dan yang lebih penting larangan miras. Sehingga hasilnya dapat dievaluasi.

Disamping itu budaya masyarakat menerapkan pola hidup sehat dan bersih juga harus dibangkitkan kembali. Tidak seperti selama ini, budaya buang sampah saja masih belum ditaati. Warga masih suka buang sembarang tempat.

Perhatikanlah bagaimana kotornya kawasan wisata terutama di daerah yang minim infrastruktur. Tong sampah saja tidak tersedia. Kalaupun ada jumlahnya terbatas, malah ada yang sudah dipenuhi sampah dan tidak pernah diambil hingga limbah itu membusuk.

Menurut hemat kita itu berkaitan dengan budaya. Budaya yang di maksud adalah soal kebiasaan.

Jadi kalau kita mau merubah kebiasaan tidak bisa semata-mata berkaitan dengan literasi wisata halal. Namun harus melalui perilaku disiplin. Nah apakah itu urusan pemerintah?

Maka saya sangat setuju dengan penerapan sertifikasi Cleanliness, Health, Safety and Environment Sustainability (CHSE) yang digagas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk meningkatkan nilai aspek kepariwisataan. Sebab disitulah masalahnya, bukan pada literasi.(*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image