Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Willionel DF

Haji yang Dulu Bukanlah yang Sekarang: Menilik Pengelolaan Haji dari Masa ke Masa

Lomba | Saturday, 11 Sep 2021, 21:02 WIB

Banyak dari jamaah haji Indonesia mengeluhkan lamanya waktu tunggu giliran haji yang harus ditanggung jamaah, serta mengeluhkan hal tersebut kepada pemerintah. Namun jika menilik ke belakang, waktu tunggu haji merupakan masalah terakhir yang harus dikhawatirkan oleh jamaah haji Indonesia. Haji zaman dulu harus dilalui dengan susah payah, bahkan mempertaruhkan hidup dan mati. Lantas, bagaimana peran pemerintah dalam mengatur ibadah haji, baik di zaman baheula hingga saat ini? Yuk, simak artikel ini sampai habis!

1) Zaman Pra-Kemerdekaan

Pada zaman ini, perjalanan haji bisa berlangsung hingga tahunan dari tanah air menuju tanah suci. Bandingkan dengan saat ini yang cukup duduk nyaman di pesawat selama 9 jam untuk mendarat di Arab Saudi, dahulu perjalanan haji harus ditempuh melalui jalur darat dan laut. Ini membuat haji menjadi ibadah yang mepertaruhkan hidup dan mati, karena banyak jamaah yang sakit-sakitan selama di perjalanan dan meninggal dunia. Di zaman VOC, penyelenggaraan haji mulai mendapat aturan khusus yang mempersulit haji, misalnya dengan melarang kapal Belanda untuk mengangkut jamaah haji, mewajibkan paspor haji, serta menetapkan pungutan haji sebesar 110 gulden atau Rp8,7 juta (1 gulden setara Rp79.000 dengan kurs saat ini).

Kapal Haji Zaman Dulu. Sumber: Dokumentasi Kementerian Agama
Kapal Haji Zaman Dulu. Sumber: Dokumentasi Kementerian Agama

2) Zaman Pasca-Kemerdekaan

Pasca kemerdekaan, penyelenggaraan haji diambil alih oleh Kementerian Agama, dan dikomandoi langsung oleh Menteri Agama RIS dibantu Panitia Haji Indonesia dengan keuangan haji dikelola oleh Bank Haji Indonesia. Namun pada tahun 1961-1962, baik PHI maupun BHI dibubarkan oleh pemerintah karena alasan politis, lalu digantikan oleh Panitia Perbaikan Perjalanan Haji dan Bank Indonesia yang masing-masing bertanggungjawab sebagai penyelenggara haji dan penyimpan dana haji.

3) Zaman Orde Baru

Pada rapat Organisasi Kerjasama Islam tahun 1987, kuota haji baru ditetapkan sebesar 0,1% dari total populasi muslim negara yang bersangkutan, yang masih berlaku hingga saat ini. Dari sisi dana haji, pemerintah melihat potensi pemanfaatan dana haji dengan membentuk Badan Pengelola Dana Ongkos Naik Haji Indonesia pada tahun 1996. Pada saat itu, orientasi pemanfaatan dana haji lebih banyak dialokasikan untuk pengembangan komunitas dan organisasi Islam yang dekat dengan pemerintah.

4) Zaman Reformasi

Di zaman reformasi, penyelenggaraan haji diatur melalui UU No. 17/1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang menegaskan peran Kementerian Agama sebagai pihak sentral pengelolaan haji, serta aturan-aturan administrasi terkait haji. Namun pada awal tahun 2000-an, akibat koordinasi yang kurang efektif dan efisien, banyak tragedi dan permasalahan yang mengorbankan jamaah haji Indonesia. Misalnya saja, kematian beberapa jamaah karena kejatuhan crane di Arab Saudi, kebakaran di pemondokan, hingga tragedi Terowongan Mina. Lalu, UU No. 17/1999 direvisi menjadi UU No. 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang menegaskan kewajiban adanya lembaga pengawas pelaksanaan haji serta perlindungan terhadap jamaah.

Korban Tragedi Terowongan Mina. Sumber: AP-Yonhap
Korban Tragedi Terowongan Mina. Sumber: AP-Yonhap

5) Pembentukan BPKH

Sudah menjadi informasi umum bahwasannya, sekitar 50% BPIH yang harus dibayarkan oleh jamaah haji Indonesia diperoleh dari subsidi haji. Subsidi haji ini, bisa didapatkan dari imbal hasil investasi dana haji yang disetorkan oleh masyarakat. Lalu, siapa yang mengelola dana haji sehingga dapat memberikan imbal hasil yang diperlukan untuk menutup kebutuhan BPIH jamaah?

Sebelum BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) terbentuk, wewenang ini dimiliki Kementerian Agama melalui Direktorat Pengelolaan Dana Haji. Ini berarti, Kementerian Agama memiliki tiga fungsi sekaligus, yaitu sebagai pengelola pelayanan haji, pembinaan haji, serta keuangan haji. Fungsi yang bertumpukan ini membuat pelaksanaan haji menjadi kurang efisien juga membuat strategi investasi dana haji terbatas pada instrumen sukuk yang memberikan imbal hasil yang rendah. Pada tahun 2015 misalnya, investasi hanya mampu memberikan imbal hasil sebesar Rp10 juta per jamaah haji. Di sisi lain, Kemenag juga membutuhkan biaya operasional pengelolaan haji agar pelaksanaanya berjalan dengan lancar, dimana selama ini biaya tersebut selalu ditanggung oleh APBN. Ada juga berbagai kekhawatiran dan kecurigaan terkait kurangnya transparansi pengelolaan dana haji, terutama informasi mengenai nilai manfaat yang didapatkan jamaah haji. Misalnya saja, pada saat itu, jamaah haji yang menunggu selama 10 tahun mendapatkan manfaat yang sama dengan jamaah haji yang baru menunggu selama 1 tahun.

Dana haji yang mengendap sebetulnya berpeluang besar memajukan ekonomi umat serta berperan dalam sector-sektor yang lebih produktif. Menurut akademisi Ekonomi Syariah UI Banu Muhammad, prinsip ekonomi syariah selaras dengan prinsip pengelolaan dan pengembangan dana haji, seperti prinsip At-Taawun (saling tolong menolong dalam kebaikan), serta prinsip menghindari Al-Iktinaz (menahan uang untuk menganggur dan tidak berputar agar bermanfaat bagi masyarakat luas).

Karena berbagai pertimbangan tersebut, pemerintah akhirnya membentuk BPKH dengan ketetapan hukum UU No 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, dimana dengan ini BPKH menjadi lembaga non-kementerian dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Dengan adanya pemisahan fokus tanggung jawab dengan Kemenag, BPKH dapat fokus mengoptimalkan imbal hasil investasi dari dana haji yang disetorkan. Misalnya saja, jika pada tahun 2015 tiap jamaah mendapat subsidi sebesar Rp15 juta dengan BPIH Rp57 juta (26%), pada tahun 2018 setelah pembentukan BPKH, subsidi tersebut meningkat menjadi Rp35,2 juta, atau 50% dari total BPIH sebesar Rp70 juta!

Dengan napak tilas perjalanan pengelolaan haji di Indonesia, kita patut optimis bahwa ke depannya pelaksanaan ibadah haji akan jauh lebih murah, mudah, dan aman. Tentunya, dengan catatan bahwa pelaksanaan haji dan pengelolaan dana haji di Indonesia harus selalu kita awasi, agar selalu berjalan di koridor yang seharusnya serta membawa manfaat paling maksimal bagi jamaah haji. Karena jika bukan kita yang melakukannya, siapa lagi?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image