UANG, EKONOMI DAN KEMASLAHATAN
Eduaksi | 2022-05-12 13:06:33Sebagai umat Muslim, sudah sepatutnya kita menghamba kepada Allah SWT termasuk dalam berekonomi. Namun, perekonomian yang seperti apa yang dimaksud? Dalam Islam, ekonomi bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan. Kesejahteraan akan mengantarkan umat muslim pada kebermanfaatan (maslahat) yang mengantarkan pada kebahagiaan akhir yaitu dunia dan akhirat (falah).
Imam Al-Ghazali menrumuskan tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas ekonomi, yaitu: untuk memenuhi kebutuhan hidup, menciptakan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarga, serta membantu orang lain yang membutuhkan. Kegiatan ekonomi pada umumnya didesain agar dapat meningkatkan peran dan kinerja para pelaku ekonomi (sektor riil) dan memperbanyak jumlah uang beredar di masyarakat, sehingga tujuan utama ekonomi tercapai.
Lalu, pernahkah kita berfikir bagaimana uang dapat bergerak dalam perekonomian? Oleh sebab itu, ekonomi Islam mengemas hal tersebut dalam suatu sistem yang dinamakan sistem moneter Islam.
Sistem moneter Islam masih menjadi bagian dari sistem ekonomi Islam untuk mewujudkan kemaslahatan umum bukan pada kemaslahatan individu. Kebijakan moneter menjadi faktor penting dalam menyeimbangkan (stabilisasi) sikuls perekonomian.
Menurut KBBI, arti kata moneter adalah segala yang berhubungan dengan uang atau keuangan. Uang lahir sebagai syarat dalam memenuhi kebutuhan yakni sebagai alat pembayaran, sebagai satuan hitung, dan alat penyimpan nilai. Sementara dalam konsep ekonomi Islam, uang adalah milik masyarakat (public goods) yang harus mengalir (flow concept) dalam perekonomian agar tidak terhenti di golongan tertentu saja.
Kebijakan moneter merupakan peraturan dan ketentuan yang dilakukan oleh otoritas moneter dalam hal ini adalah bank sentral (Bank Indonesia) untuk mengontrol uang yang beredar, inflasi dan untuk memelihara stabilitas ekonomi suatu negara. Indonesia sebagai negara yang menerapkan kebijakan monter ganda yang dapat menjalankan kebijakan moneter konvensional dan moneter Islam.
Lalu, bagaimana Islam mengatur sistem moneter? Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya mengenal sistem moneter konvensional terlebih dulu.
Di dalam sistem moneter konvensional ada istilah alat atau perangkat yang dinamakan instrumen. Instrumen-instrumen yang digunakan dalam menjalankan sistem moneter diantaranya:
1. Penentuan Giro Wajib Minimum di mana bank sentral umumnya menentukan rasio minimum antara uang tunai dengan kewajiban giral bank. Maksudnya adalah apabila bank sentral menurunkan angka tersebut, maka dengan uang tunai yang sama, bank dapat menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak daripada sebelumnya.
2. Penentuan Diskon Rasio. Bank komersial dapat meminjam dari bank sentral dengan tingkat suku bunga di bawah tingkat suku bunga yang berlaku di pasar bebas. Ketika discount rate relatif rendah terhadap tingkat bunga pinjaman, maka bank komersial akan mempunyai kecenderungan untuk meminjam dari bank sentral
3. Operasi Pasar Terbuka. Jika bank sentral ingin menambah suplai yang, maka bank sentral akan membeli surat utang atau dikenal dengan obligasi. Dengan membeli obligasi, berari uang dilempar pemerintah ke masyarakat sehingga dapat memperbesar jumlah yang yang beredar.
Ketiga instrumen di atas bergantung dengan suku bunga. Sementara suku bunga di dalam Islam tidak diperkenankan memakai suku bunga dalam instrumennya. Menurut studi oleh Sadeq (1992) suku bunga cenderung tidak mencerminkan keadilan (dzalim) karena memberikan diskriminasi terhadap pembagian risiko maupun keuntungan bagi para pelaku ekonomi.
Oleh sebab itu, bukannya malah mendatangkan kemaslahatan tetapi justru membuat tertolaknya maslahat dengan kata lain mendatangkan mudharat bagi umat Muslim.
Sebagaimana tertuang dalam QS. Ali Imron [3] Ayat 130: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir”.
Dalam sistem moneter Islam mengharamkan bunga, tetapi berbasis pada bagi hasil (profit loss sharing) yakni keuntungan dan kerugian yang mungkin timbul dari kegiatan ekonomi ditanggung bersama.
Menurut cendekiawan muslim Adiwarman Karim, kebijakan monter Islam digolongkan ke dalam tiga mazhab. Adanya perbedaan mazhab dapat disebabkan oleh perbedaan masa atau zaman yang terjadi di masa lampau. Tiga mazhab mengenai instrumen kebijakan moneter Islam diantaranya:
1. Mazhab Iqtishoduna. Awal masa pemerintahan Islam belum memerlukan suatu kebijakan moneter karena sistem perbankan dan penggunaan uang belum diperlukan. Namun, ada sebuah instrumen yang diistilahkan Promissory Notes atau Bill of Exchange yaitu surat yang dapat dijadikan sebagai pinjaman untuk mendapatkan dana, nakun tidak dapat digunakan untuk tujuan kredit atau utang.
2. Mazhab Mainstream. Zaman terus berubah, seiring berjalannya waktu sejalan dengan semakin kompleksnya permintaan uang, maka menurut mazhab ini instrumen yang ditetapkan adalah untuk mempengaruhi besar kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktivitas, namun permintaan uang untuk tujuan spekulasi tetap tidak dibenarkan dalam ekonomi Islam.
3. Mazhab Alternatif. Mazhab alternatif telah mengalami perkembangan dalam mengahdapi situasi yang lebih kompleks dari sebelumnya dengan melibatkan otoritas berdasarkan musyawarah untuk menentukan kebijakan. Mahzab ini menggambarkan harmonisasi antara sektor moneter dengan sektor riil. Jika terjadi peningkatan pada sektor riil, maka otoritas moneter juga harus menambah uang yang berdar (money supply)
Sebagai negara yang menerapkan kebijakan moneter ganda, kebijakan moneter Islam mengadopsi kebijakan moneter konvensional termasuk instrumen-instrumen di dalamnya namun Choudhury (1997) mengusulkan perlu penyesuaian terhadap instrumen yang bertentangan di dalam sistem moneter konvensional.
Operasi Pasar Terbuka masih boleh dilaksanakan sepanjang yang diperdagangkan adalah sekuritas Islam seperti Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Pada GWM di mana kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksaan prinsip kehati-hatian perbankan dan mengendalikan jumlah uang beredar sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk rupiah dan 3% yang berbentuk 3% dari dana pihak ketiga berbentuk mata uang asing. Dana pihak ketiga yang dimaksud adalah giro wadiah, tabungan mudharabah, deposito investasi mudharabah dan kewajiban lainnya. Sementara discount rate ditiadakan seperti yang diterapkan di Iran, atas dasar pengharaman riba, maka instrumen ini tidak digunakan.
Studi yang dilakukan Ascarya (2012) menyimpulkan bahwa sistem moneter konvensional yakni variabel suku bunga kredit memberikan dampak negatif (memicu dan meningkatkan) inflasi, sedangkan bagi hasil pembiayaan syariah di sektor riil memberikan dampak positif (menahan dan menurunkan) inflasi.
Negara-negara yang mengimplementasikan sistem moneter Islam adalah Sudan dan Iran, sementara negara-negara yang menerapkan sistem moneter ganda yakni Indonesia, Malaysia dan Pakistan.
Dengan begitu, tujuan sistem moneter Islam dapat tercapai melalui kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, keadilan sosio-ekonomi serta distribusi kekayaan yang adil dan merata melalui investasi dan tabungan untuk pembangunan yang dimobilisasi secara optimal, menghilangkan jurang perbedaan antara individu dalam perekonomian agar dapat menghapus konflik antar golongan, mencapai kemaslahatan yang menuntun umat Muslim menuju kebahagiaan yang hakiki yakni di dunia dan akhirat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.