Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fergi Nadira Bachruddin

Dari Kios Kecil Ini Kami Tumbuh

Politik | Thursday, 09 Sep 2021, 00:47 WIB
Ayah kami di depan kiosnya Nomor 10, Pocci Art Painting, di Pinggiran Kota Jakarta

Dari kios 2,5 x 2 meter di pinggir jalan Jakarta Pusat ini, kami tumbuh.

30 tahun, Ayah kami istiqomah terhadap hobinya, yakni melukis. Menggerakan kemampuan dan bakat yang temurun untuk dijadikan ladang mencari nafkah ketika memutuskan membangun sebuah keluarga. Sempat bekerja kantoran, tapi dia tidak menemukan keselarasan pekerjaannya di kantor dengan dirinya. Alhasil selama hidupnya hingga kini, dia mengandalkan jemari dan kreativitas imajinasinya untuk bertahan hidup.

Ya, kami dibesarkan melalui goresan tangannya, keahlian berkarya untuk membuat orang lain menikmatinya, dan semangatnya yang tak jemu dalam membesarkan kami tentunya.

Tak jarang kulitnya legam terbakar matahari, sebab sebelum mendapatkan kios kecil di depan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jakarta pusat, Ayah kami menawarkan dan menjajakan lukisannya di bantaran kali Ciliwung beratapkan payung yang kerap tembus panas sinar matahari Jakarta.

Peruntungan mendapatkan orderan setiap harinya sangatlah tidak mudah, sebab Ayah kami tak sendiri. Banyak pelukis yang juga mengandalkan keahlian mereka dalam mencari nafkah untuk keluarga mereka juga.

Dulu, sesuap nasi sangat sulit untuk kami dapatkan jikalau tak ada orang yang ingin melukis. Ibu kami yang merupakan seorang ibu rumah tangga yang tekun mengurus urusan rumah, kerap ke tetangga, saudara, dan teman untuk sementara bertahan sambil menunggu berharap ada yang melukis.

Oiya selain melukis, ayah kami menerima orderan menulis indah. Sebelum zaman digital mendominasi dunia ini, tulisan indah sekadar ucapan Idul Fitri sangat digemari. Tak jarang, orderan pun banjir ketika mendekati hari raya. Kami pun bahagia bukan main jika mendekati Hari Raya di agama kami, Islam, Hari Raya Lebaran.

Bagaimana tidak, daging dan ayam sudah pasti tersaji di rumah kami. Mungkin bisa dihitung jari dalam setahun kami bisa menikmati daging dan ayam. Dan tentunya Hari Raya Lebaran, dan Lebaran Haji adalah hari spesial buat kami.

Ayah kami tak mampu menguliahkan anak pertamanya, namun berhasil menguliahkan saya, anak kedua pun dengan beasiswa. Dan pada kelanjutannya, adik terakhir saya diberi kesempatan kuliah dari hasill patungan saya, kakak pertama, dan adik saya yang Alhamdulilah sudah bekerja di sebuah pabrik meski dia sendiri tidak kuliah.

Didikan orang tua kami bisa dikatakan tidak begitu seperti kebanyakan orangtua lain. Orang tua kami membebaskan anak-anaknya dalam mengambil jalannya sendiri, tidak pernah memaksa kami, maupun mendikte kami, apalagi memarahi kami kalau kami pulang malam. Mereka sangat mempercayakan kami sepenuhnya. Alhasil, kami anak-anaknya, otomatis patuh.

Yang ditanamkan mereka hingga kini dan masih terjalin adalah mengutamakan keluarga. Meski nantinya anak-anaknya sudah sukses dan berjalan sendiri-sendiri, mereka selalu mengajarkan kami untuk berkumpul di meja makan bersama-sama untuk makan, dan mengobrol isu apapun itu.

Masih jauh dari kata sukses memang, kami anak-anaknya pelan-pelan mengubah kamus hidup kami dari kesusahan makan menjadi berkecukupan untuk makan sehari-harinya. Orangtua kami yakin drajat keluarga kami pastinya nanti akan ditinggikan sebab kami percaya bahwa roda itu berputar, seperti halnya kehidupan ini. Dan siapa yang bersyukur makan kenikmatan akan ditambah terus sama Yang Maha Kuasa.

Kami bangga tumbuh dari kios berukuruan dua meter di pinggiran jalan Jakarta itu, di mana Ayah kami yang kini berusia 62 tahun masih ke kios tersebut. Meski perjalanan hidup ini masih berproses dan kami masih ingin mencapai tujuan hidup kami, anak-anakmu, Pih, Mih: Membuat kalian bangga bukan kepalang, membuat kalian bersyukur tiada tara karena menciptakan kami, dan membuat kalian tersenyum setiap harinya.

Terima kasih atas harapan, dan doa-doamu.

Terima kasih telah membangun kami.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image