Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Sultan

Budayakan Menjadi Guru di Rumah Meski Pandemi Telah Pergi

Lomba | Wednesday, 08 Sep 2021, 21:14 WIB

Dua bulan lagi, pandemi Covid-19 telah berulang tahun yang kedua. Sejak kemunculannya, Covid-19 sudah menimbulkan ragam penderitaan bagi warga, ketidakstabilan perekonomian nasional, mempengaruhi interaksi sosial antarwarga, dan bahkan menelan korban meninggal dunia yang tidak sedikit. Dampaknya yang begitu luas dan massif menjadikan Covid-19 sebuah topik yang selalu hangat diperbincangkan. Tidak terkecuali di dunia pendidikan, Covid-19 pun telah mengubah proses pembelajaran dari luar jaringan (luring) melalui tatap muka (PTM) menjadi pembelajaran dalam jaringan (daring).

Pembelajaran daring dinilai menjadi alternatif solusi untuk mencegah selain mengurangi dan menghilangkan peluang penularan Covid-19 di lingkungan sekolah, juga mengatasi ketertinggalan materi belajar bagi siswa di masa pandemi Covid-19. Faktanya, muncul persoalan baru sejak pembelajaran daring ini diberlakukan. Permasalahan tersebut antara lain dukungan infrastruktur internet yang belum optimal menjangkau sejumlah daerah di Indonesia sehingga sulit bagi siswa dalam mengakses pembelajaran daring.

Selain itu, masih dijumpai guru yang belum siap dan mampu beradaptasi dengan teknologi informasi, akibatnya kesulitan dalam transfer of knowledge sulit dihindari, dan bahkan tidak jarang siswa menjadi bosan dan menurunkan semangat belajar. Situasi demikian semakin diperparah dengan ketidaksiapan orang tua baik dalam menyediakan perangkat teknologi yang kompatibel dengan belajar anaknya maupun sebagai sharing partner saat anaknya belajar dari rumah.

Hambatan dan tantangan tersebut tentu tidak akan menghentikan langkah dalam mencerdaskan generasi bangsa. Olehnya itu, setiap permasalahan yang muncul untuk mencapai tujuan tersebut, sebaiknya dikelola secara bersama-sama melalui pendistribusian peran dan tanggung jawab. Orang tua memegang peranan penting dalam belajar anaknya terutama di masa pembelajaran daring karena sebagian besar siswa selama pandemi belajar dari rumah (baca-https://www.republika.co.id/berita/qcgsij428/peran-orang-tua-cukup-sentral-pada-belajar-dari-rumah). Hal ini berarti bahwa tidak ada alasan bagi orang tua untuk menyerahkan tanggung jawab pendidikan anaknya secara penuh kepada guru dan pihak sekolah.

Sumber: Republika

Idealnya, orang tua mengambil porsi mendidik anak yang lebih besar di rumah dibandingkan guru di sekolah. Peran orang tua tersebut berupa pendampingan aktif saat anak belajar di rumah, memberi semangat kepada anak agar tetap aktif dalam belajar daring, menyediakan fasilitas pendukung belajar anak, dan aktif melakukan koordinasi dengan guru di sekolah terkait perkembangan dan kemajuan belajar anaknya. Namun, ada fenomena menarik yang perlu diperhatikan selama pembelajaran daring diberlakukan yaitu meningkatnya keaktifan orang tua dalam mengerjakan tugas sekolah dibanding anaknya. Bisa dibayangkan, entah siapa yang akan lebih memahami materi pelajaran sekolah, apakah siswa atau orangtuanya?

Pandemi Covid-19 masih menyisakan tanda tanya di benak setiap orang, apakah tetap berlangsung selamanya atau akan segera pergi? Andai saja pandemi Covid-19 segera pergi atau sebaliknya tetap bertahan dan berlangsung permanen khususnya di Indonesia, maka tidak menghentikan dan menghilangkan peran orang tua sebagai seorang guru untuk anaknya di rumah. Mengapa demikian? Keberadaan orang tua dalam proses belajar anak di rumah akan berdampak positif baik dalam mengontrol secara langsung perkembangan belajar anaknya, mengawasi anaknya agar lebih efektif, efisien dan bijaksana dalam memanfaatkan teknologi informasi maupun mempererat hubungan psikososial-emosional antara anak dan orang tua.

Lalu, bagaimana mendorong dan membangkitkan peran aktif orangtua terhadap perkembangan dan kemajuan belajar anaknya di rumah serta menghilangkan kebiasaan mengerjakan tugas sekolah anaknya? Pertama, reorientasi persepsi orang tua terhadap guru yang selama ini menganggap guru adalah orang nomor satu yang bertanggungjawab atas pendidikan anaknya, diubah menjadi guru adalah partner kolaborasi orang tua di luar rumah dalam mendidik anak. Kedua, menghilangkan persepsi orang tua tentang definisi keaktifan mendampingi anak saat belajar di rumah adalah membantu mengerjakan tugas sekolah anak, digantikan dengan keaktifan sebagai teman diskusi dan berbagi pengalaman untuk mencapai prestasi belajar yang optimal.

Sudah saatnya hadir sosok orang tua di setiap rumah yang memiliki anak sekolah untuk membudayakan diri menjadi guru bagi anak tanpa harus melimpahkan semua tanggung jawab mendidik anak kepada guru di sekolah. Budaya mengajar bagi orang tua di rumah dapat diperoleh dan ditingkatkan melalui berbagai kegiatan seperti proaktif dalam seminar, workshop dan pelatihan serta kegiatan lainnya yang bernuansa pendidikan dan pengajaran. Apalagi di era teknologi informasi saat ini, orang tua sangat mudah memperoleh informasi dan bahkan berpeluang besar untuk ikut berpatisipasi aktif dalam setiap kegiatan tersebut.

Jika budaya orang tua menjadi guru di rumah ini dilestarikan, maka tidak ditemukan lagi orang tua yang lebih aktif mengerjakan tugas sekolah dibandingkan anaknya karena mereka sudah memahami perannya di rumah dalam proses belajar anak. Selain itu, tidak ada lagi keluhan guru terhadap menurunnya prestasi belajar siswa karena para orang tua telah mengambil peran dalam mendidik anaknya sendiri di rumah. Tidak hanya keuntungan itu saja yang dapat diperoleh, tetapi juga semakin banyak siswa yang menuntaskan tugas sekolahnya secara mandiri dan produktif serta tetap berprestasi tanpa harus melibatkan dominasi orangtuanya dalam belajar di rumah.

#lombamenulisopini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image