Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Saudara Azarya

Andai Pandemi Pergi: Apriori Manusia vs Evolutif Alam

Lomba | Tuesday, 07 Sep 2021, 17:04 WIB

Dalam keadaan terpuruk, manusia biasanya berandai-andai. Ambil contoh, seorang anak yang sedang kelaparan; ia mungkin berandai-andai akan duduk menikmati makanan lezat di sebuah warung atau bahkan di sebuah istana, misalnya saja. Atau contoh lain, seorang pelajar yang gagal dalam sebuah ujian; ia mungkin berandai-andai akan menjadi seorang insinyur ternama bila ujian berikutnya ia dapat lulus. Atau begitu banyak lagi contoh-contoh lain. Tapi, tentu saja pengandaian mereka itu pun kita; bahkan saya sendiri pun hanya berandai-andai tentang diri mereka itu. Pada intinya, dunia manusia, terkadang dipenuhi dengan apa yang dinamakan berandai-andai itu. Hal itu baik; dan menjadi sebuah mimpi yang memberikan semacam harapan hidup manusia supaya tidak tenggelam dalam keterpurukkannya; apa pun itu.

Begitu juga, peristiwa hidup manusia saat ini. Dalam keterpurukkan di segala bidang oleh momok wabah Corona; yang melanda kehidupan manusia dengan cepatnya, manusia bisa saja; siapa pun itu, akan masuk dalam suatu situasi berandai-andai. Setiap orang bisa menjadi anak kecil atau pelajar dalam contoh tadi. Memang tidak semua orang berandai-andai, sebab tidaklah mungkin membuat sebuah statistik untuk membuktikan hal itu. Pemikiran manusia yang cenderung berandai-andai, biasanya disebut juga dengan pemikiran spekulatif dalam pemikiran para filsuf modern. Ada istilah apriori dan aposteriori. Nah, pemikiran manusia yang berandai-andai itu masuk dalam kategori apriori; yakni mengharapkan atau mengandaikan sesuatu berdasarkan persepsi, dugaan, perkiraan, bukan secara fakta atau pengalaman langsung.

Manusia Apriori

Dalam situasi wabah pandemi Corona, yang melanda dalam segala aspek dengan cepatnya, dapat saja melahirkan manusia-manusia apriori atau manusia yang berandai-andai. Ambil contoh lagi, misalnya seorang seorang ibu yang mungkin saja melewati sebuah tempat bermain anak-anak, ia mungkin berandai-andai, kalau corona pergi, maka anak-anaknya bisa bermain lagi di tempat bermain seperti yang sedang dilihatnya. Atau contoh lain, misalnya para mahasiswa mungkin saja berandai-andai tentang indahnya keseruan belajar bersama kawan-kawannya di ruang kelas, ketimbang harus menjalani pembelajaran secara daring. Atau contoh lain yang lebih ekstrem lagi, misalnya seorang pemuda yang sedang dirundung asmara, hanya bisa berkomunikasi dengan pacarnya atau kekasihnya hanya lewat media sosial, karena harus menjaga jarak, sehingga saat ini demam LDR bukan lagi hanya sebatas karena profesi atau sebuah kesibukan, tetapi karena wabah pandemi yang terus saja melanda kehidupan manusia. Begitulah situasi yang mungkin bagi manusia saat ini; yang bisa melahirkan individu-individu yang berandai-andai atau individu-individu apriori. Namun, kemungkinan ini bukanlah sebuah survey lapangan, sehingga bisa jadi contoh-contoh ini pun hanyalah bersifat berandai-andai; tetapi berandai-andai yang tingkat kebenarannya bisa dibuktikan dalam kehidupan manusia saat ini.

gustinerz.com

Dalam situasi manusia yang mungkin saja masuk dalam lingkaran tak berujung berandai-andai itu, perlu juga mengkritisi alam ini. Seperti halnya manusia mengalami perkembangan dan tingkat evolusi yang terus bergulir, begitu juga dengan alam ini; bahkan dengan wabah ini, yang mungkin merupakan sebuah fakta yang tak terhindarkan akan apa yang dinamakan hukum keteraturan evolutif alam semesta ini.

Dalam VIVA.co.id, 25 Februari 2020 lalu, Jenderal Badan kesehatan Dunia WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyes, menyatkan sebuah spekulasi yang justru berbalik dengan kemungkinan spekulasi kebanyakan orang saat ini, yang berandai-andai bahwa Pndemi Corona ini akan segera pergi dan menghilang. Beliau justru menyatakan spekulasi bahwa wabah Corona yang sebelumnya hanya bersifat sebuah epidemi, kini telah beralih ke sebuah pandemi atau bencana dunia. Belaiau juga menyatakan dengan tegas bahwa Corona ini tidak dapat diatasi dengan mudah begitu saja. Ditambah lagi kenyataan saat ini, Corona yang terus saja bermutasi ke bentuk varian-varian baru, masihkah kita hanya berandai-andai kapan Corona pergi? Ataukah kita harus memiliki suatu prinsip hidup atau spekualsi lain yang baru dan lebih kritis lagi; sekadar berandai-andai?

Keteraturan Alam Yang Evolutif

Alam semesta dalam kenyataannya, memiliki hukum dan keteraturannya sendiri. Entah disadari atau tidak disadari oleh manusia, alam tetaplah berjalan apa adanya sesuai dengan hukum dan keteraturannya tersebut. Dalam relasinya dengan alam semesta, manusia dalam kesadarannya memiliki kapasitas untuk memahami alam semesta apa adanya. Pemahaman manusia akan alam semesta akhirnya terungkap dalam pengetahuan-pengetahuan dalam bentuk ilmu sains. Manusia mulai meneliti dan mengobjektifikasi alam semesta untuk menemukan rumusan-rumusan baku untuk mengerti gerak dan hukum alam semesta. Hingga akhirnya manusia mampu menemukan asal-usul alam semesta berasal dan ke mana alam semesta ini akan bergerak, manusia mampu memprediksinya. Bahkan lebih hebat lagi, manusia mampu membuat manupulasi-manupulasi ilmiah dalam ilmu fisika, kimia dan biologi.

Namun, apa pun usaha manusia untuk memahami alam semesta, pengetahuan manusia itu tetaplah terbatas. Alam semesta hanya dapat ditangkap oleh akal budi manusia hanyalah secuil saja. Alam semesta masih menyediakan banyak misteri yang belum terpecahkan.Manusia harus menyadari juga bahwa ia adalah bagian kecil dari alam semesta yang besar ini. Gerak dan perubahan, kemunculan dan kepunahan, waktu sebagai ukuran gerak dan perubahan, temporalitas dan kontingensi, kuantitas dan kualitas, dimensi spasiotemporal, arah perubahan, hingga kapasitas badan-badan alam untuk numerasi matematika, akan ikut berpengaruh pada diri manusia. Sehingga tidaklah benar bila manusia memandang alam semesta hanya sebagai objek semata. Alam semesta justru merupakan subjek yang sebanding dengan manusia. Karena sebanding sebagai subjek, maka manusia perlu menjalin suatu relasi yang harmonis untuk menjaga keteraturan dan harmoni alam semesta ini.

Tidak cukup manusia modern ini memahami dan meneliti alam semesta dengan segala hukum dan keteraturannya jika manusia tidak berusaha menyelaraskan diri mengikuti gerak, hukum dan keteraturan alam semesta ini. Namun, sebetulnya alam semesta ini penuh misteri yang belum terpecahkan bahkan tidak terpecahkan sama sekali. Maka alam semesta ini tidaklah hanya tampilan fisik saja tetapi juga tampilan metafisik. Sehingga aspek lain selain yang bersifat fisik seperti psikologi atau antropologi perlu diperhitungkan juga. Dengan demikian, tujuan hidup manusia di dunia ini bukan terbatas pada hal-hal materi atau fisik saja tetapi juga hal-hal yang metafisik. Dengan kata, manusia menjadi makhluk yang metafisis atau manusia-manusia rohani.

Lalu, pertanyaan di akhirnya, apakah manusia pada saat ini hanya tinggal sebatas berandai-andai saja, atau menerima situasi ini sebagai bagian dari hukum keteraturan alam? Tentu, bisa salah satunya, bisa juga kedua-duanya.

- # -

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image