Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SAIFUL ANWAR

LAKI-LAKI MISTERIUS

Sastra | Wednesday, 11 May 2022, 13:50 WIB
Sumber gambar: https://www.wallpaperbetter.com/id/hd-wallpaper-fuszo

Di dekat gerbang pasar bagian utara aku sedang berdiri menunggu becak. Aku harus segera pulang. Sudah tiga jam aku berbelanja. Ibu akan marah jika aku pulang terlambat. Usiaku sudah 20 tahun, tetapi orangtuaku masih memperlakukanku seperti anak kecil. Kuperiksa belanjaanku, sip tak ada yang terlewat.

Matahari menyengat dan becak yang kutunggu tak kunjung lewat.

Dari jauh kulihat seorang laki-laki berjalan mendekatiku. “Aku Parman,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku acuh. Ia nampak lebih tua dibanding aku, mungkin usianya 23 atau 25 tahun. Tubuhnya tinggi, rambutnya klimis, dan pakaiannya necis. “Dik Sri ndak mau kenal aku? Yasudah. Yang penting Dik Sri sudah tahu namaku. Parman, P-A-R-M-A-N, Parman. Ingat-ingat ya, Dik.” Aku tetap tidak bergeming.

Suasana jadi kik-kuk. Waktu terasa melambat.

“Hati-hati, jangan mau diajak kenalan oleh laki-laki yang ndak jelas” kata Ibuku suatu kali.

Nasehat itu kupikir benar juga. Aku tak tahu siapa Si Parman ini. Bisa jadi dia begal, maling, atau copet. Pilihan mengacuhkannya sudah tepat. Ya, sudah tepat.

Beberapa saat kemudian becak yang kutunggu akhirnya datang. Aku bergegas naik dan meninggalkan laki-laki tak jelas itu. Untunglah orang-orang di sekitar kami tak ada yang menggubris.

***

Parman, siapa dia? Begal, maling, atau copet?

“Pak, kenal orang tadi?” Aku bertanya pada tukang becak yang mengantarku.

“Orang mana, Mbak? Saya tidak lihat siapa-siapa.”

“Oh, ya sudah, Pak.”

Sesampai di rumah Ibu langsung menyambutku dengan berbagai pertanyaan. Apakah aku baik-baik saja, apakah uang yang kubawa cukup, apakah ada orang yang menjahati padaku. Semua itu kujawab dengan satu kalimat: “Aku sehat wal afiat, semua aman.”

“Di pasar ketemu siapa saja?” Ibu bertanya sambil membuka keranjang belanjaan yang kubawa.

“Ketemu De Drajat, Yu Wati, Yu Sih.” Pak Drajat adalah penjual sayur-mayur, Yu Wati adalah penjual daging ayam, dan Yu Sih adalah penjual jajanan. Ketiganya adalah teman Ibu.

“Cuma itu?”

“Ya ndak cuma itu ta, Bu. Di pasar kan banyak orang. Masa harus Sri sebutkan semua.” Sebenarnya aku ingin berkata bahwa ada laki-laki aneh bin misterius yang mengajakku berkenalan. Tapi aku takut Ibu marah.

“Haha, baiklah. Ayo kita mulai masak, kamu pasti sudah lapar kan?”

***

Seminggu setelah kejadian di pasar itu Parman datang ke rumahku. Sendiri! Memang dasar laki-laki sinting! Bapaklah yang pertama menyambutnya. Bapak dan Parman bercakap-cakap sebentar di ruang tamu. Aku tak mendengar pembicaraan mereka. Pikiran negatif segera menggerayangiku. Mungkinkah Parman mengaku sebagai pacarku? Ah, tidak tidak, itu tidak mungkin! Semoga tidak mungkin! Aku was-was. Tetapi laki-laki sinting itu berbicara yang aneh tentangku. Aku yakin.

Beberapa saat kemudian Bapak memanggilku. Jantungku langsung “deg!”. Aku pun keluar kamar.

“Hai Sri. Bagaimana kabarmu?” Aku kaget, bingung harus bereaksi bagaimana.

“Benar dia temanmu, Sri?” Tanya ibu penuh selidik.

“Tidak, Bu. Sri ndak kenal,” aku menjawab sambil menundukkan kepala.

“Ah, kamu itu lho Sri. Kita kan sudah saling berkenalan seminggu lalu di pasar. Kamu lupa ya? Hehe.”

Laki-laki kurang ajar! Bisa-bisanya dia mengaku seperti itu. Sinting, sinting!

“Baiklah. Sebaiknya Nak Parman duduk-duduk dulu. Mari.”

Aneh, kedatangan Parman tidak mengundang reaksi tetangga kami. Biasanya ketika ada tamu berkunjung, lebih-lebih lawan jenis, gosip langsung menyebar. Tetapi kali ini tidak. Untuk ukuran hidup di desa, hal ini sungguh ajaib.

***

Entah kebetulan atau tidak, semenajak kedatangan Parman kemarin dagangan orangtuaku semakin laku. Pesanan datang silih berganti. Orangtuaku kini makin sibuk, hingga mereka melupakan sosok Parman.

Musim hujan tiba. Jalanan di desa kami berubah menjadi becek sehingga sulit dilalui. Di sawah kodok dan hewan lain tetap beraktivitas seperti biasa. Melantunkan bunyi yang serupa orkestra paduan suara.

“Parman kok ndak datang ke sini lagi ya?” Tanya Bapak tiba-tiba. Ibu menampakkan raut muka bingung. Sementara aku tak tahu harus menjawab apa. “Orang mana dia? Bapak belum sempat tanya kemarin.”

***

Gerimis mengguyur pagi dengan khusyuk. Sepasang suami-istri turun dari mobil dan menerjang jalanan yang becek. Mereka datang ke rumah kami. Keduanya sudah tua, jauh lebih tua dari orangtuaku. Kutaksir umur mereka skitar 60-an. Dari pakaian dan kendaraan yang digunakan aku yakin mereka adalah orang kaya.

“Iya Bapak Ibu. Silakan masuk. Ada yang bisa kami bantu?” Bapak menyambut. Didatangi oleh tamu demkian seketika rumah kami menjadi perhatian para tetangga.

“Kami ingin bertemu dengan anak bapak.”

Aku mendengar kalimat itu. Dadaku langsung dag dig dug! Ya Tuhan, apalagi ini? Bapak memanggilku dan aku pun segera keluar. Suami-istri itu menatapku, menyisir penampilanku dari atas hingga bawah. “Iya, memang benar dia, Mah,” kata Sang Suami.

Bapak mempersilakan suami-istri itu duduk. Ternyata suami-istri itu adalah orangtua Parman! “Wah ternyata orangtua Dik Parman ta, hehe,” Bapak mencoba tenang.

“Iya Pakm betul. Emm, alamat rumah ini benar ini, kan?” Sang suami menunjukkan sebuah tulisan di secarik kertas yang telah kusam nan rapuh. Dan memang betul, di kertas itu tertulis alamat rumah kami. Lengkap.

Jantungku tak berhenti dag dig dug. Semua orang tahu, jika ada orangtua datang ke rumah teman wanita sang anak itu adalah pertanda sebuah hubungan akan menuju serius. Ya, lamaran! Ah, aku belum siap menikah. Huh, semoga Bapak dan Ibu mengerti. Tapi bagaimana aku menolak lamaran ini dengan bahasa yang baik, santun, dan tak menyinggung perasaan? Keringat tiba-tiba membasahi kepalaku. Aku seperti dihantam palu godam sebanyak 100 kali.

“Emm, jadi begini,” Sang suami memulai, “maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk memastikan bahwa anak bapak adalah perempuan dalam lukisan ini.” Sebuah lukisan di kanvas berukuran 30 x 40 cm dikeluarkan. Aku kaget, pada kanvas itu terdapat lukisan wajahku! Suami-istri itu saling bertatapan. “Ini adalah lukisan anak semata wayang kami. Dia meninggal 20 tahun lalu dalam sebuah kecelakaan.”

Patemon, 14 Desember 2020 – 11 Mei 2022

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image