Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nurina Hasanatuludhhiyah dr., M.Si

Membangun Literasi Sains, Meredam Infodemi, Melawan Pandemi

Eduaksi | Wednesday, 01 Sep 2021, 14:39 WIB
Penulis: Nurina Hasanatuludhhiyah dr., M.Si

Gelombang kedua COVID-19 di negara kita sepanjang Juni-Agustus 2021 membuat sistem kesehatan nasional babak belur, hingga menempatkan Indonesia menjadi negara dengan angka kematian nakes tertinggi di Asia. Kondisi ini memaksa pemerintah menarik rem darurat dengan menerapkan PPKM sejak 3 Juli, yang diperpanjang hingga 6 September. Kebijakan pahit ini diambil atas dasar mobilitas masyarakat yang sulit direduksi dan kepatuhan terhadap prokes yang dinilai masih rendah. Masalah ini bila dirunut berakar pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap komunitas sains maupun penyedia layanan kesehatan.Kepercayaan terhadap otoritas ilmiah, yang mendorong masyarakat untuk makmum terhadap rekomendasi upaya penanggulangan di level individu hingga kebijakan publik, merupakan salah satu kunci pengendalian pandemi. Kepercayaan terhadap teori konspirasi, keraguan hingga penolakan terhadap vaksin, keengganan untuk dilakukan testing dan tracing, penolakan perawatan di rumah sakit, ketidakpatuhan terhadap prokes di kalangan masyarakat merupakan simpul-simpul mati dari benang kusut pandemi. Patut dibedah lebih lanjut, berbagai variabel yang mungkin berasosiasi dengan masalah ini. Ada baiknya terlebih dulu ditinjau secara makro, di mana faktor geopolitik salah satu yang memberi warna. Vaksin COVID-19 merupakan contoh produk saintek yang proses penelitian dan pengembangan, produksi dan distibusinya kental akan aroma geopolitik.

Vaksin harus diakui sebagai produk inovasi saintek yang berdampak besar terhadap kesejahteraan umat manusia, mengeliminasi bahkan mengeradikasi penyakit infeksi yang menimbulkan kematian, kecacadan hingga wabah yang mengancam eksistensi Homo sapiens. Eradikasi global dari cacar pada tahun 1979 adalah kesuksesan terbesar dari implementasi vaksin sejak ditemukan 2 abad sebelumnya. Tidak terhitung analisis penilaian teknologi kesehatan yang membuktikan keuntungan ekonomi dan pengurangan beban biaya kesehatan melalui implementasi vaksin, namun resistensi terhadap vaksin menjadi kendala global dalam pencapaian target eliminasi penyakit. Dalam konteks pandemi COVID-19 terkait dengan harapan akan ketercapaian herd immunity.

Proses riset dan pengembangan vaksin COVID-19 bagaikan balap reli antara raksasa ekonomi barat dan timur, di mana Indonesia sebagai negara resipien produk inovasi saintek menjadi penonton yang ikut merasakan atmosfer perang dagang dan politik antara Amerika dan Cina dalam reli tersebut. Tentu Indonesia menjadi penonton aktif yang bergerilya menjalin kontrak dengan perusahaan manufaktur vaksin berbasis di Cina, Inggris dan Amerika demi menjamin suplainya bagi masyarakat. Masyarakat dunia telah membaca realita vaksin sebagai alat untuk memperkuat pengaruh politik ekonomi negara pensuplai vaksin, hal yang sama ditangkap oleh sebagian masyarakat kita yang mengkhawatirkan cengkraman kekuatan global semakin kuat akibat ketergantungan terhadap vaksin. Terkait singkatnya proses pengembangan vaksin COVID-19 yang kurang dari 1 tahun, di mana pengembangan vaksin lazimnya paling cepat 5 tahun, menjadi pemicu kecurigaan di kalangan penolak dan peragu vaksin.

Tragedi yang muncul sebagai ekses perkembangan saintek, seperti dampak kesehatan akibat kebocoran reaktor nuklir menjadi catatan sejarah yang mungkin meninggikan keraguan publik terhadap kredibilitas otoritas ilmiah. Namun, pengalaman sejarah tersebut tampaknya bukan bagian dari memori traumatis masyarakat Indonesia yang dapat menurunkan kepercayaan terhadap komunitas sains. Asumsi dan pengambilan kesimpulan yang keliru terhadap fakta dan data seringkali menggiring masyarakat terhadap distrust tersebut. Asumsi tersebut mudah menyebar di masyarakat melalui saluran komunikasi yang kian banyak terbuka di era digital. Sebagai contoh, narasi yang baru-baru ini berkembang liar mengenai asumi semua kematian akibat COVID-19 terjadi di rumah sakit, yang membuat masyarakat tidak mempercayakan perawatannya ke rumah sakit atau menganggap virus corona tidak membahayakan karena tidak menimbulkan kematian di luar RS. Asumsi yang juga berkembang bahwa gelombang kedua COVID-19 di negara kita disebabkan mutasi virus yang dipicu vaksin karena melihat realita terjadinya peningkatan tajam jumlah kasus dan kematian akibat COVID-19 terjadi setelah gelombang pertama pemberian vaksin. Pseudosains tumbuh subur di tengah pandemi, saat masyarakat haus akan informasi instan yang seakan mampu memberi penjelasan sederhana atas apa, mengapa dan bagaimana pandemi ini terjadi. Ketimbang fakta sains yang memakan waktu untuk pengujian berulang dengan metode yang valid dan reliabel, serta penarikan kesimpulan secara hati-hati untuk kemudian menjalani proses telaah ilmiah yang ketat.

Pandemi memberi pelajaran berharga mengenai pentingnya pengelolaan komunikasi sains. Komunitas sains tidak hanya dituntut menekuri data hasil obeservasi dan mempertanggungjawabkan kualitas kesimpulan yang dihasilkan dalam lingkup akademia. Namun juga menyajikan data dalam infografis sederhana yang menarik, mengutarakan temuan ilmiah serta metode penelitian yang diterapkan, secara ringkas dan rapi dengan bahasa awam yang memantik faham, serta menginformasikan kesimpulan dengan tutur yang bijak, efektif dan berempati kepada masyarakat. Selain itu, keberadaan sumber informasi peredam hoaks, berita palsu dan misinformasi lainnya seperti fact checker atau anti hoaks oleh lembaga pemerintah dan media perlu didukung perannya. Meski demikian, jurang masalah yang ditimbulkan oleh distrust masyarakat terhadap sains tidak cukup dijembatani dengan kedua upaya di atas. Literasi sains perlu dipandang sebagai kerangka solusi utamanya.

National Academy of Sciences USA, mendefinikan literasi sains sebagai pengetahuan dasar atas fakta ilmiah, serta pemahaman terhadap proses dan praktik ilmiah dan bagaimana sains dan saintis bekerja. Kemudian adanya kapasitas untuk mengukur dan mengevaluasi produk sains, dan kemampuan untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan masyarakat tentang nilai ilmu pengetahuan dalam aspek kehidupan. Program for international student assessment (PISA) yang melakukan pengujian literasi sains terhadap siswa 15 tahun di seluruh dunia, menggambarkan 3 ranah kompetensi literasi sains. Pertama kemampuan untuk memberikan penjelasan mengenai fenomena alam, artefak teknis dan teknologi serta penerapannya untuk masyarakat. Kedua, kompetensi untuk menggunakan pengetahuan dan pemahaman terhadap inkuiri ilmiah; mengajukan metode untuk menjawab pertanyaan ilmiah dan mengidentifikasi apakah telah diterapkan metode yang tepat. Yang ketiga adalah kompetensi untuk menginterpretasi dan mengevaluasi data dan bukti secara ilmiah serta mengevaluasi apakah kesimpulan yang dihasilkan sudah tepat. Skor PISA literasi sains untuk Indonesia dari 2012 hingga 2018 memang tidak menggembirakan, termasuk dalam kelompok negara dengan level capaian tersendah. Hal ini tidak segan diakui oleh Nadim makarim. Setidaknya ada tren peningkatan tiap 3 tahun periode tes. Bahkan skor PISA 2012 menjadi faktor pendorong perubahan kurikulum ke arah pembelajaran kontekstual dan inkuiri melalui kurikulum 13. Belum jelas, analisis dampak kurikulum tiga belas terhadap peningkatan literasi sains. Kendala utama tampaknya ada pada implementasinya, di mana tidak semua guru memahami ruh dari pembelajaran sains kontekstual dan mampu mendekatkan siswanya dengan penerapan sains dalam kehidupan sehari-hari melalui metode pembelajaran yang efektif.

Masalah infodemi dalam pandemi membangkitkan insight akan urgensi pembangunan literasi sains sebagai salah satu landasan literasi kesehatan, yang dimaknai sebagai pengetahuan, motivasi dan kompetensi untuk mengakses, memahami, menelaah dan menerapkan informasi kesehatan agar mampu membuat keputusan mengenai pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan sepanjang hayat. Upaya peningkatan literasi sains masyarakat dapat dilakukan dengan mengintensifkan dialog antara saintis dengan publik melalui kanal media sosial, seminar awam, atau diskusi dengan tokoh masyarakat seperti ulama atau birokrat. Sekolah adalah lokasi paling strategis untuk pembangunan literasi sains melalui pembelajaran terstruktur intra dan ekstrakurikuler. Sudah jamak dipahami bahwa lebih mudah membentuk paradigma tentang sains teknologi pada anak ketimbang mengubah persepsi dan pola pikir pada dewasa yang merasa memiliki otonomi atas buah pikirnya sendiri. Kendala kesulitan guru untuk membawakan konteks dalam pembelajaran sains dapat diatasi melalui peranan komunitas sains terutama yang ada di perguruan tinggi untuk berperan aktif memasyarakatkan literasi sains melalui road show ke sekolah, dengan memperkenalkan iklim inovasi saintek di perguruan tinggi, maupun update perkembangan ilmu pengetahuan global. Pembangunan literasi sains pada masyarakat merupakan investasi yang nantinya berbuah pada kemampuan masyarakat untuk mengawal perkembangan sains dan teknologi agar dalam jalur etika yang menjunjung harkat martabat manusia dan mendorong pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image