Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ida Puspita

Bidadari Tak Bersayap

Sastra | Tuesday, 31 Aug 2021, 15:31 WIB

Jemari Santi sibuk menggapai buku yang ada di depannya, sambil melamun menerawang teringat bundanya. Wajah yang senantiasa dihiasi senyum ramah, halus budi bahasanya, dengan perangai lembut penuh kasih. Tak terasa menitik bulir tetesan air mata. Tentu letih sekujur tubuh sebagai seorang perawat di suatu Rumah Sakit besar di tengah kota. Pagi pergi dan pulangnya menjelang tidur. Nyaris Santi tak pernah bertemu dengan ibundanya.

“Bunda, temani Santi belajar! Tamen-temnku tugasnya pada dibantu ibunya, Bund. Aku sendirian mengerjaakan tugas yang banyak sekali,” rengek Santi dengan bibir cemberut di pagi itu saat bundanya bergegas pergi ke Rumah Sakit,

“Nanti ya, bunda harus segera ke Rumah Sakit, sedang banyak pasien yang menunggu,”

“Huh, bunda selalu saja mentingin pasien dari pada Santi,” sungutnya.

“Bunda sudah masakin kalau Santi mau sarapan, sudah bunda siapkan semua di atas meja,”

“Males sarapan, bunda nggak bantuan aku ngerjakan PR.” Santi terus merajuk sambil menendang-nendang kaki meja sampai meja bergeser tempat.

Ayah Santi melongok dari garasi mobil mendengar suara gaduh dari ruang tamu.

“Ada apa ini, pagi-pagi kok sudah ada yang marah-marah. Ada apa sih San?” tanya ayah Santi keheranan.

“Bunda sering nggak pulang ke rumah, tidur si Rumah Sakit terus. Santi jadi nggak semangat belajar, males ngerjain PR, nggak ada yang nemenin,” jawab Santi.

“Lhoh, belajar sama ayah kan bisa?” tawar ayah Santi.

“Enak belajar sama Bunda, temen-temenku juga belajarnya ditemenin bundanya.”

Santi seharian itu tidak keluar dari kamarnya. Ayahnya terus membujuk untuk makan dan menemani belajar dan mengerjakan PR tetapi Santi tak bergeming.

******************************************************************************

Suster Irma, ibu dari Santi seorang perawat di Rumah Sakit besar di tengah kota Yogyakarta. Akhir-akhir ini diberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai 30 Agustus masih termasuk wilayah pandemi Corona level 4, dimana mobilitas masyarakat diatur dengan sangat ketat agar masyarakat mau menerapkan prokes darurat Covid-19 dengan disipli.

Wilayah pandemi level 4 termasuk wilayah yang masyarakatnya banyak terpapar Covid-19. Tenaga Kesehatan menjadi garda paling depan melayani pasien yang opname di Rumah Sakit, isoman di salter-salter yang disediakan Pemerintah Daerah ataupun isoman di rumah masing-masing. Sedikit waktu istirahat, banyak meninggalkan keluarga karena harus menginap di Rumah Sakit yang penuh sesak dengan pasien, bahkan harus ikut berjuang agar pasien mendapatkan tabung oksigen yang habis tak dapat memenuhi kebutuhan Rumah Sakit.

Dengan ikhlas, sabar, dan tawakal Suster Irma melaksanakan tugasnya sebagai perawat sebaik mungkin, meski terbersit kesedihan karena tak pernah dapat mendampingi belajar anaknya yang akan menghadapi ujian akhir Sekolah Dasar dan ke depannya mencari tempat belajar di SMP. Jiwa dan loyalitas dalam mengabdi mengikis habis setiap kali kesedihan bergelayut di diri.

Dari jauh Santi melihat bundanya pulang bersama seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Badannya kurus, wajah anak laki-laki itu sayu, tatapannya kosong dan kebingungan. Diaraih tangan Santi, lalu digenggam tangan itu, bundanya jongkok di depannya, kemudiaan berucap, “Santi, mau ya berteman dengan Ikhsan? Saat ini Ikhsan yatim piatu karena ayah ibunya meninggal karena sakit Corona. Ikhsan juga sudah tidak memiliki nenek ataupun saudara yang lain. Bunda ajak Ikhsan ke rumah kita, agar bersama-sama dengan kita di rumah ini. Boleh ya? Agar Santi juga ada temannya jika bunda dan ayah bekerja ke luar rumah. Kasihan dia, sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini,” bujuk Suster Irma kepada Santi.

Santi merespon dengan lari, masuk kamar dan menangis terisak isak. Hatinya semakin sedih dan jengkel. Kenapa bundanya malah bawa anak lain ke rumah? Selama ini tidak pernah menemani belajar di rumah tetapi malah akan memberi perhatian pada anak lain, bukan berusaha memberi waktu kebersamaan yang lebih banyak dengannya. Apakah bundanya sudah tak menyayanginya lagi? Apakah pekerjaan bundanya lebih penting dibanding dirinya? Bermacam-macam pertenyaan berkecamuk berputar di pikiran Santi.

*****************************************************************************************************************

Malam menjelang tidur, Santi bergegas ke kamar mandi ingin buang air kecil. Saat melewati ruang tamu, dia terkejut melihat ada sosok kecil tidur telungkup di sofa sambil menangis terisak, memanggil manggil ibu dan bapaknya. Santi urungkan buang air kecil, jalan berjinjit menuju kamar bundanya untuk membangunnya, Bersama bundanya, Santi menghampiri anak laki-laki yang kemarin diajak ke rumah. Pelan bundanya mengusap bahu anak laki-laki kecil itu, namun anak laki-laki kecil bernama Ikhsan itu masih terus terisak-isak. Santi menjadi iba melihatnya. Dalam hatinya mulai tumbuh rasa syukur, bahwa dirinya masih memiliki orang tua lengkap. Bahwa dirinya tidak keberatan jika bunda dan ayahnya menjadikan Ikhsan adiknya. Santi mulai dapat menerima kehadiran Ihsan yang usianya lebih muda satu tahun dengannya.

******************************************************************************************************************

Santi dengan semangat menunjukkan sekolah dimana dia belajar selama ini kepada Ikhsan. Diceritakannya semua hal tentang keseruan-keseruan Santi selama bersekolah di sana. Diajaknya Ikhsan mengelilingi sekolahnya, dan menunjukkan semua tempat yang ada di sekolahnya. Ikhsan tersenyum dan mengangguk-angguk mendengarkan celotehaan Santi yang sangat bersemangat mengajak Ikhsan pindah ke sekolahnya.

“Ayuk Yah ke Jogja Tronik belikan hand phone untuk Ikhsan, agar segera dapat mengikuti pembelajaran daring,” ajak Santi kepada ayahnya.

“Ayuk, Ikhsan. Ayah ambil kunci mobil dulu, setelah it uke Jogja Tronik untuk membelikanmu HP,” kata ayah Santi dengan ramah.

Ikhsan mengangguk-angguk menampakkan wajah senang, dan akhir-akhir ini sudah mulai brkurang nangisnya karena ingat bapak ibunya yang telah tiada, dan dirinya yang sekarang menjadi yatim piatu.

Betapa Santi sangat bersyukur masih memiliki ayah dan bunda. Santi sudah tidak rewel lagi karena bundanya sibuk melayani pasien. Santi kini memiliki adik baru yang selalu belajar bersama-sama.

Santi tersenyum dan bergumam, “ah, aku ingin seperti bunda. Bundaku adalah Bidadari Tak Bersayap.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image