Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Farah Noersativa

Duhh.. Frustrasi Tak Bisa Nonton Konser

Curhat | Thursday, 26 Aug 2021, 16:10 WIB

Pandemi ini memang membuat frustrasi. Mengapa? Salah satu alasannya adalah pandemi membuat saya tak bisa menikmati konser lagi.

Sebenarnya saya bukan orang yang benar-benar harus menonton konser setiap artis yang sedang hype di masa-masa tertentu. Tapi, kalau saya suka dengan musik dari seorang musisi atau penyanyi, saya pun akan penasaran bagaimana rasanya menonton mereka secara live? Saya pun tak segan mengumpulkan uang saya atau menggunakan uang yang telah saya sisihkan untuk menonton mereka secara live.

Sayangnya pandemi membuat saya frustrasi tidak bisa melakukannya. Minimal pergi ke kafe untuk menikmati live-music band yang membawakan lagu-lagu kesukaan saya, atau menonton kakak saya yang merupakan seorang musisi itu manggung. Itu saja sekarang susah sekali.

Lagian, ngapain sih menonton musik secara live?

Ada beberapa hal yang membuat saya sangat dekat dengan seni pertunjukan, terutama musik. Selain kakak saya adalah seorang performer, papa saya yang juga seorang perkusionis yang juga kerap membuat event musik di Semarang, dan mama saya yang suka sekali dengan musik, membuat saya mau tak mau ikut mencintai seni pertunjukan musik.

Bisa dikatakan, saya adalah fans pertama kakak saya. Ya gimana, setiap dia manggung, saya selalu duduk di barisan depan untuk menyorakinya dan menyemangatinya.

Kesukaan saya dengan live music membawa saya pergi ke Australia untuk menonton konser Coldplay pada akhir tahun 2016 silam. Waktu itu saya harus memilih antara konser Coldplay di Melbourne, atau konser seorang DJ asal Jerman, Zedd di Jakarta. Saya memilih konser Coldplay karena menurut saya, waktu itu mumpung ada sepupu saya yang sedang tinggal di sana karena sekolah S2 di Melbourne.

Saya keluar negeri pertama kali dalam hidup saya dengan uang yang saya kumpulkan semasa bekerja. Waktu itu, saya harus menaiki pesawat ke Kuala Lumpur terlebih dahulu dari Jakarta, baru berangkat ke Melbourne. Saya ingat, ada banyak rombongan dari Jakarta yang menaiki penerbangan yang sama dengan saya, termasuk artis Nadine Chandrawinata.

Singkat cerita, saya sampai luar negeri untuk menonton Coldplay. Tepatnya “berpesta”. Konser Coldplay, yang waktu itu bertemakan “A Head Full of Dreams”, yang merupakan album ke tujuh band asal Inggris itu.

Konser Coldplay "A Head Full of Dreams" di Melbourne pada 2016. Foto Dokumentasi Pribadi

Konsernya sangat meriah. Penonton lonjak-lonjak di mana-mana. Mereka tersenyum lebar dan berteriak-teriak saat Chris Martin bernyanyi “Viva La Vida” dan “Paradise”, dua lagu non “A Head Full of Dreams” andalan Coldplay.

Selain dilengkapi sound system yang sempurna, panggungnya megah sekali dengan later T yang membuat Sang Vokalis bisa lebih dekat dengan penonton. Dekorasi panggungnya juga cukup memukau dengan berbagai sorot lampu warna-warni.

Banyak gimmick yang membuat penonton amat bersenang-senang dalam konser sekitar dua jam itu. Ada hujan confetti dengan berbagai bentuk, muncul berulang-ulang di setiap beberapa lagu. Saya yang waktu itu ada di barisan agak depan (enggak depan-depan sekali sih, karena depan-depan saya bule-bule Ostrali yang badannya gede-gede jadi enggak bisa nyerobot), kedapatan confetti banyak di kepala saya.

Confetti di Konser Coldplay "A Head Full of Dreams" di Melbourne pada 2016. Foto Dokumentasi Pribadi

Ada kembang api yang muncul di sisi belakang panggung di lagu “Fix You” yang membuat merinding. Lalu, gelang bernama Xylobands yang diberikan panitia kepada penonton juga menyala-nyala dengan warna-warna tertentu di beberapa lagu, mendukung kemeriahan konser.

Lalu ada balon-balon besar berwarna-warni yang muncul di lagu “Adventure in a Lifetime”. Coldplay benar-benar memberikan petualangan sekali seumur hidup yang menyenangkan.

Bola-bola Warna-warni di Konser Coldplay "A Head Full of Dreams" di Melbourne pada 2016. Foto Dokumentasi Pribadi

Dari konser Coldplay saya tersadar, seni pertunjukan musik sebaiknya tak hanya menampilkan musik berkualitas saja. “Experience” atau “pengalaman” penonton adalah hal yang tak kalah penting. Saya cukup bahagia dan merasa tak sia-sia datang dari jauh karena mendapatkan pengalaman yang membahagiakan dari konser Coldplay.

Dan yang utama, tiketnya tak begitu mahal. Waktu itu, saya mendapat harga tiket 1500 dolar Australia, atau sekitar Rp 1,5 juta saja. Menurut saya, untuk ukuran Coldplay, itu sih murah ya.

Saya sangat merindukan momentum menonton pertunjukan musik secara live. Saya rindu interaksi artis dengan penonton, suara alat musik, keriuhan penonton, lonjak-lonjak di konser, berdansa menikmati musik, dan saya rindu suasana atau atmosfir konser.

Dengan adanya pandemi pada 2020 lalu, semua konser pun dibatalkan. Terakhir menonton pertunjukan musik besar, saya mendatangi konser Zedd di Djakarta Warehouse Project (DWP) pada Desember 2019 lalu. Jadi total sudah hampir dua tahun saya tidak menonton live music.

Kalau saya sudah mentok rindu menonton konser, saya membuka kanal Youtube untuk menonton video-video live dari musisi dan band yang saya sukai. Saya putar volume suara keras-keras, dan menutup mata saya. Saya berimajinasi saya berada di tengah-tengah penonton. Lumayan mengobati, sih.

Meski tampaknya masih lama kita akan bisa menonton konser, Coldplay sendiri telah melaksanakan live music-nya beberapa kali pada 2021 di masa pandemi ini. Dan beberapa momentum itu dilaksanakan TANPA PENONTON. Well, apa enaknya konser tanpa penonton?

Tapi ada satu live yang mereka lakukan saat mereka di New York. Tentu itu terjadi dengan syarat. Mereka sendiri telah divaksinasi, dan para penonton di AS sana juga telah divaksinasi. Meski demikian, hal itu sepertinya masih belum akan terjadi di Indonesia.

Saya sedih dan frustrasi tak bisa pergi menonton konser. Tapi saya menyadari sedih dan frustrasi saya ini bukan apa-apa.

Masih ada yang lebih sedih dan frustrasi lagi, misalnya, kakak saya yang seorang musisi yang memiliki penghasilan utama dari ngamen di panggung-panggung kecil. Lebih sedih dan frustrasi lagi mereka yang tak bisa manggung, tak bisa bekerja sebagai kru musisi, tak bisa membuat panggung, dan tak bisa membuat seni pertunjukan baik musik, teater, dan lain-lain.

Mari kita jaga semangat mereka dan sama-sama bertahan. Semoga ada titik terang agar kita bisa pergi ke konser dan seni-seni pertunjukan lainnya lagi.

Farah Noersativa

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image