Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Roisatun Kasanah

Polemik UU Cipta Kerja dan Hubungannya dengan Substansi Sertifikasi Halal

Bisnis | Thursday, 26 Aug 2021, 15:14 WIB

Berbicara tentang UU cipta kerja atau yang disebut juga UU omnibuslaw maka akan membawa kita pada banyak hal yang menimbulkan kontroversi. Mulai dari substansi UU yang bagi sebagian orang dianggap tidak berpihak pada tenaga kerja atau buruh hingga proses pengesahannya yang terkesan terburu-buru sehingga memunculkan kekhawatiran bagi berbagai pihak. Pada tulisan kali ini saya ingin membahas hubungan antara UU cipta kerja ini dengan peraturan sertifikasi halal yang telah disahkan melalui UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sebelumnya terkait peraturan sertifikasi Halal ini sendiri juga juga sudah menimbulkan pro dan kontra, mengutip penjelasan dari pernyataan narasumber dalam webinar sertifikasi halal di era adaptasi kebiasaan baru yang dilaksanakan oleh Universitas Airlangga pada tanggal 28 September 2020 bahwa peraturan baru terkait setifikasi halal ini memiliki signifikansi urgensi bagi terjaminnya produk halal bagi masyarakat muslim di Indonesia selain juga merupakan sarana penunjang bagi pemasaran produk halal Indonesia ke tingkat global. Mengingat pada era masa kini industri halal semakin berkembang dan menjadi peluang yang sangat besar bagi perkembangan perekonomian di Indonesia.

Pada satu sisi saya sangat setuju dengan adanya urgensi tentang kewajiban sertifikasi halal bagi produk-produk yang beredar di Indonesia karena hal ini merupakan ikhtiar bagi umat muslim agar tidak terjebak dalah hal-hal yang gharar atau tidak jelas sehingga terdapat keragua-raguan dalam mengkonsumsi suatu produk. Namun di sisi lain memang ada hal-hal yang perlu dibahas lebih mendalam agar proses pelaksanaan aturan sertifikasi halal ini dapat berjalan sesuai tujuan sesungguhnya. Mengutip dari pernyataan pak Mardigu Wowiek alias bossman yang mana beliau berpendapat bahwa adanya kewajiban sertifikasi halal ini cenderung mempersulit berkembangnya industri kecil dan menengah atau UMKM, kemudian beliau menyarankan agar proses sertifikasi maupun ijin-ijin tertentu yang berkaitan dengan pembukaan usaha maupun bisnis harusnya bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak menyulitkan seperti proses ijin sambil berjalannya usaha dan aturan sertifikasi hanya bagi usaha yang sudah berskala besar.

Belum lagi selesai terkait pro dan kontra sertifikasi halal yang kini bersifat mandatory muncul lagi polemik terkait UU cipta kerja yang didalamnya juga membahas terkait aturan Jaminan Produk Halal dan Sertifikasi Halal. Pada UU yang baru disahkan ini menyebutkan bahwa peraturan yang mewajibkan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) harus memiliki sertifikasi dari MUI dihilangkan. Selain itu dengan alasan demi terciptanya iklim investasi dan iklim usaha yang berkembang dan bertumbuh dengan cepat maka aturan penerbitan sertifikasi halal diberi tenggang waktu maksimal satu hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk. Kemudian pada pasal 35A ayat 2 dijelaskan apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikasi halal. Beberapa perubahan inilah yang disorot oleh berbagai pihak. Substansi atau landasan tujuan sertifikasi halal yang memiliki tujuan mulia untuk menjamin tersedianya jaminan halal terkesan menjadi komoditi bisnis karena adanya potensi menghilangkan peran MUI sebagai pihak yang memutuskan kehalalan suatu produk berdasarkan aturan dan nilai-nilai islam.

Berbagai pendapat baik yang pro dan kontra terkait aturan sertifikasi halal ini sebenarnya adalah baik karena memang tugas kita bersama untuk berusaha mencapai aturan atau regulasi yang sesuai dan lebih baik dan lebih baik lagi. Saya pribadi sebagai orang awam dengan pengetahuan minim ini hanya ingin sedikit beropini melalui tulisan ini. Saya setuju dan mendukung dengan adanya regulasi jaminan produk halal dan sertifikasi halal yang bersifat mandatory ini karena merupakan ikhtiar dalam menghindari hal-hal haram yang dilarang oleh islam. Namun hal yang perlu dikritisi adalah bagaimana proses penerapan peraturan sertifikasi halal ini agar tidak memberatkan para pengusaha kecil atau UMKM. Jangan sampai salah satu tujuan sertifikasi halal yang awalnya adalah sebagai kunci untuk menembus pasar halal global malah menjadi boomerang dan menhambat pertumbuhan usaha kecil di masyarakat. Hal-hal yang berkaitan dengan biaya sertifikasi dan alur pengajuan sertifikasi harus dibuat sedemikianrupa agar tidak meberatkan. Terkait beberapa perubahan yang terdapat pada UU cipta kerja saya cenderung kurang setuju karena hal-hal tersebut berpotensi menghilangkan substansi serta tujuan utama dari adanya sertifikasi halal. Merupakan tugas bersama baik pemerintah sebagai regulator, ulama sebagai penasehat, serta masyarakat yang memang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam hal ini untuk mencari solusi agar implementasi sertifikasi halal ini dapat dilaksanakan dengan tujuan yang baik, cara yang baik, dan akhirnya hasilnya pun baik bagi kemaslahatan masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image