Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hidayatulloh

Berharap Harga Tes PCR Covid-19 Semakin Murah

Politik | 2021-08-24 23:27:51

Masyarakat Indonesia perlu berterima kasih kepada Moh Agoes Aufiya, YouTuber dan mahasiswa S3 Jawaharlal Nehru University karena telah memposting video yang viral tentang murahnya tes Polymerase Chain Reaction (PCR) seharga 100 ribuan rupiah di India. Testimoni Agoes diamini pula oleh Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur WHO Asia Tenggara yang bercerita bahwa September 2020 harga tes PCR di India sekitar 480 ribu. Lalu berangsur turun hingga Agustus 2021 menjadi 100 ribuan.

Informasi murahnya harga tes PCR di negeri Mahabarata mengakibatkan publik Indonesia gaduh karena mahalnya biaya tes PCR di negeri sendiri yang rata-rata 800-900 ribu untuk hasil 24 jam. Jika ingin lebih cepat, kita harus merogoh kocek lebih dalam hingga 1,2-1,8 juta. Politisi, aktifis, dan netizen ikut berkomentar pedas tentang harga tes PCR di Indonesia yang lebih mahal.

Indonesia Corruption Watch atau ICW pun mendesak agar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merevisi Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentan Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR yang diatur sebesar 900 ribu. Pemerintah diminta terbuka soal harga bahan baku dan jangan menguntungkan sekelompok pengusaha di saat rakyat sedang kesusahan.

Tak hanya India, jika kita membandingkan harga dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam, Indonesia masih lebih mahal dua kali lipat. Hal ini sangat tidak berbanding lurus dengan semangat pemerintah untuk mendorong testing, tracing dan treatment yang masif. Mayoritas penduduk negeri ini yang masuk kategori kelas menengah dan miskin akan sangat kesulitan untuk membiayai tes PCR yang mahal. Untuk memenuhi kebutuhan harian saja di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sebagian besar masyarakat sudah terjepit kehidupan ekonominya. Tak semua mampu membayar biaya tes PCR yang mahal. Alhasil angka kematian sangat tinggi dan kita tidak kaget banyak pasien sudah meninggal tetapi baru diketahui positif Covid-19 beberapa pekan kemudian.

Kemenkes RI berdalih mahalnya biaya tes PCR akibat bahan dasarnya yang harus impor. Berbeda dengan India yang memproduksi bahan baku sendiri. Namun apakah semahal itu?

Presiden telah memerintahkan Menteri Kesehatan untuk menurunkan harga tes PCR dengan kisaran harga 450-550 ribu. Meskipun masih jauh lebih mahal dari India, kita tetap bersyukur ada upaya untuk menurunkan harga meskipun itu terjadi disebabkan muncul kegaduhan di ruang publik. Entah apa yang terjadi jika peristiwa tersebut belum viral.

Tak berhenti dengan instruksi Presiden. Alangkah baiknya jika Kemenkes RI dan Satgas Penanganan Covid-19 menggandeng Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menginvestigasi apakah terdapat tindakan pengusaha atau perusahaan yang melakukan pelanggaran seperti monopoli, kartel, dan lainnya dalam bisnis pemeriksaan Covid-19. KPPU perlu menyelidiki apakah harga tes PCR sesuai dengan harga keekonomian dan asas persaingan usaha yang sehat. Para importir nakal yang mempermainkan harga perlu diberikan teguran bahkan sanksi tegas karena mereka bersenang-senang meraup keuntungan di atas penderitaan rakyat yang sedang berjuang hadapi pandemi Covid-19.

Pemerintah wajib pula menjajaki kerjasama impor bahan baku PCR dengan India agar mendapatkan harga yang lebih murah. Tidak ada salahnya membeli barang yang lebih murah dengan tetap menjaga kualitas produk. Setelah impor bahan baku murah, Kemenkes RI dapat lakukan operasi tes PCR murah dan masal kepada masyarakat agar terjadi keseimbangan harga di pasaran.

Kesehatan adalah salah satu hajat hidup warga negara. Konsitusi Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Maka negara wajib ikut andil memenuhinya agar keadilan sosial benar-benar ada dan nyata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hidayatulloh

Mahasiswa S3 Department of Financial Law, Deak Ferenc Doctoral School of Law, University of Miskolc

Dosen Hukum Bisnis Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image