Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hendarsih erfik

Belajar Kebinekaan di Belitang

Curhat | Monday, 09 May 2022, 10:30 WIB

Rasanya kurang pas kalau saya pulang kampung tidak ke pasar tradisional. Kebetulan pasar di kampung tidak begitu jauh dari rumah. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik motor. Dulu malah saya dan anak-anak senang sekali bisa berbecak ria dari pasar ke rumah. Kini, becak sudah tak nampak lagi.

Berada di Pasar Gumawang, Belitang itu saya bisa merasakan bau sayur- mayur yang khas. Segar-segar tidak kalah segar dengan sayur mayur di fresh market. Daun singkong dari yang daunnya lebar-lebar sampai yang daunnya kecil-kecil. Terong biru gelap bulat yang hanya direbus rasanya maknyus. Oyong muda, tomat besar, atau tomat kecil (tomat cery, atau tomat mini) dijual dalam keadaan segar. Sudah barang tentu warnanya memikat ibu-ibu seperti saya.

Aneka rempah juga berjejer rapi. Konsumen tinggal pilih mana yang disukai. Rempah-rempah itu mulai dari lengkuas, jahe, salam, dan kawan-kawannya. Rempah-rempah itu bisa jadi bahan utama membuat pindang ikan yang menjadi masakan khas Belitang. Hal ini sudah saya coba di satu rumah makan yang menyediakan pindang ikan baung.

Ehmmm...menyantap pindang ikan baung menghadap Bendungan Komering dan sejauh mata memandang hamparan sawah menghijau. Sungguh memberi sensasi tersendiri pada pulang kampung tahun 2022 ini.

Pulang kampung tahun ini pun saya mencoba menuliskan sesuatu yang menarik di Pasar Gumawang, Belitang. Saya merasa tidak berada di Tanah Sumatra, saya merasa berada di pasar-pasar di Tanah Jawa. Yah, sebab di bagian sayur-mayur dan rempah ini semua dijajakan oleh perempuan-perempuan yang rata-rata berparas Jawa. Mereka bercaping dan bersepeda keranjang bambu. Mereka pun bercakap dengan bahasa Jawa dengan sesama pedagang sayur- mayur lainnya. Akan tetapi, tetap saya memanggil mereka dengan panggilan Ayuk . Panggilan yang berarti kakak bagi perempuan di Belitang.

Percakapan menggunakan bahasa Jawa di Belitang yang pada dasarnya berbahasa Komering dan Ogan merupakan contoh keragaman yang ada di Belitang.

Keragaman bahasa dan budaya ini juga dapat kita telusuri di laman-laman sejarah dan budaya Belitang.Sejarah bahasa, budaya, dan kampung-kampung yang mengelilinginya.

Saya berkesempatan mengelilingi beberapa kampung. Di Jalan Raya BK-10 berdiri megah dan lengkap Mesjid Agung Gumawang. Hal ini menunjukkan penduduk Gumawang, Belitang mayoritas beragama Islam. Kemudian, saya menuju RS Charitas dan Lembaga Pendidikannya, wilayah ini penduduknya beragama Katolik atau Kristen. Lalu, saya juga melihat rumah-rumah yang di bagian depannya berornamen Bali. Berada di perkampungan itu, saya merasa sudah berada di Bali. Perkampungan itu dicirikan dengan nama Nusa : Nusa Bali, Nusa Bakti, Nusa Jaya, dll. Wilayah tersebut penduduknya beragama Hindu.

Selain dari uraian di atas, saya juga dapat melihat kemajemukan di Gumawang, Belitang itu dari pekarangan rumahnya. Rumah-rumah seperti di kampung pada umumnya berhalaman sangat luas.

Halaman rumah yang dihuni oleh suku Sunda rata-rata di depan rumahnya memiliki kolam ikan atau empang. Halaman rumah suku Jawa biasanya bersemen luas yang digunakan untuk menjemur padi. Mereka juga bercocok tanam sayur- mayur.

Sayur-mayur di Pasar Gumawang Belitang dibudidayakan dengan sistem pengairan yang baik sebab berjejer Bendungan Komering yang disebut BK. Mulai dari BK-1 sampai BK-23. Peninggalan kolonial Belanda yang tetap berdiri. Bandungan ini kokoh dan membentang panjang.

Saya menjadi teringat tentang penulisan BK di undangan pernikahan kami. Pengantin pria tertulis di bawah namanya. Gumawang, Belitang BK - 10. Namun, tercetak menjadi Belitang Blok-10. Hal itu kini menjadi kenang-kenangan kami saat guyon.

Kenangan yang selalu dirindu setiap kami pulang kampung. Semoga Gumawang, Belitang dengan BK yang mengelilinginya terus bergerak maju. Penduduknya sejahtera dan tetap menjaga kerukunan dalam kemajemukan.

Hendarsih

Jatiranggon, 9 Mei 2022

SUMBER GAMBAR : Dokumen Pribadi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image