Putus yang Tidak Putus
Politik | 2021-08-11 14:49:06Diperpanjang. PPKM berlevel itu masih terus ditambahkan durasi waktunya. Sebuah keputusan yang tidak mudah memang. Dalam aspek semiotik, terjadi perubahan aktor pembawa pesan perpanjangan PPKM, tidak seperti yang lalu.
Keputusan dalam level kebijakan, memang sebuah hal yang rumit bin kompleks. Disitulah ruang dimana kepemimpinan diuji, mendapatkan panggung untuk memunculkan kompetensi.
Jelas bahwa sebuah keputusan merupakan rangkaian proses yang saling bersinambung. Lebih dari sekedar evaluasi serta melakukan pemetaan masalah. Keputusan juga merupakan penutup pamungkas yang memberi solusi.
Bisa jadi karena njelimet-nya sebuah putusan, Goenawan Mohamad merumuskan dalam catatan pinggir tentang Ke-Putus-an (Tempo, 7/8) sebagai momen dimana pertimbangan batin dan pergulatan kehendak bebas dipergunakan untuk sampai pada stase tanggung jawab.
Dalam formula praktis, Albert Einstein sang Ilmuwan penerima Nobel Fisika menyebut bila manusia selalu berada dalam upaya mencari dan menuntaskan masalah. Kita tidak dapat memecahkan masalah dengan cara berpikir yang sama ketika kita membuatnya, begitu sebutnya.
Sekurangnya dibutuhkan satu level kapasitas yang lebih tinggi dari kemampuan guna menjawab soal, dibandingkan upaya untuk sekedar memahamkan masalah.
Terlebih tentang keputusan dalam lingkup kebijakan. Jelas harus memperhitungkan berbagai pertimbangan, dengan tujuan utama adalah kebaikan.
Paradoks Pandemi
Pandemi adalah kabut ketidakpastian, maka sebuah keputusan bahkan sudah mendapatkan penilaian mulai dari proses awal hingga hasil akhirnya kelak.
Di era pagebluk, kita tidak memiliki kemewahan waktu. Dimensinya sebangun dengan situasi krisis. Periode dimana perubahan terjadi mendadak, tidak ada yang siap menghadapinya, serta berlangsung kilat.
Tersebab itu pula, maka sebuah kebijakan harus ditimbang secara utuh, dengan melihat seluruh fenomena yang muncul secara detail. Identifikasi persoalan terjadi dengan mengurai pokok-pokok masalah -area what.
Tahap selanjutnya diiringi dengan membentuk berbagai pilihan opsi yang potensial dalam menjawab problematika -dimensi why and how.
Tidak berhenti disitu, karena situasinya dinamis, maka lingkaran dialektika keputusan akan terus-menerus dipertajam.
Pada kajian Heryanto Lingga (Detik, 9/8) dalam Paradox Mindset Penanganan Pandemi, sebuah keputusan yang terlihat bagaikan model tarik-ulur, dapat dipahami dengan memandang bahwa upaya merumuskan resolusi bisa terjadi melalui cara berpikir yang paradoksal.
Sebuah sintesis dapat dibuat dari berbagai kemungkinan yang nampak muskil dan bertentangan.
Bahwa yang putus itu sesungguhnya tidaklah benar-benar putus. Sebuah keputusan harus disusul dengan berbagai keputusan lain dalam upaya mereduksi dampaknya. Solusi tidak bisa bersifat tunggal dan mutlak, melainkan majemuk dan acak.
Komunikasi Persuasi
Akar pokok dari nilai pengaruh sebuah keputusan bisa ditelusur pada basis fundamentalnya, yakni kepercayaan. Persis seperti yang disebut Aristoteles -filsuf Yunani Aristoteles sebagai latar kombinasi retorika.
Dalam ranah komunikasi, hal itu terkonfirmasi, bahwa sebuah makna pesan dapat diterima menjadi persetujuan, manakala sumber pesan memenuhi aspek ethos -memiliki kredibilitas yang dapat dipercaya.
Selain itu, ada kriteria pathos -mampu membangkitkan emosionalitas perasaan. Dalam hal ini, tutur serta gerik laku pengirim pesan harus mampu menunjukan keberpihakan.
Lagi-lagi para aktor komunikasi harus membangun kedekatan dan tidak berjarak dari publik. Bukan yang jauh panggang dari api, seperti memanfaatkan pandemi demi branding politik yang narsistik melalui berbagai baliho.
Dibagian akhir, karakter penyampai pesan harus memenuhi parameter logos, yakni memiliki kemampuan untuk mampu menjelaskan dengan dasar rasionalitas terukur, masuk akal bukan simsalabim, abrakadabra.
Kombinasi dari totalitas ethos, pathos dan logos menjadi sebuah formula paripurna untuk dapat mengajak, membangkitkan serta mempersuasi publik secara bersama mengatasi pandemi.
Keputusan perpanjangan PPKM, akan menjadi sebuah hal yang efektif bila bermuara pada hajat publik secara keseluruhan. Tentu kita akan melihatnya nanti di kemudian hari.
Tetapi di hari-hari seperti inilah, mereka yang bertindak sebagai pemangku keputusan, atas apa yang terlihat putus, namun tak jua putus tersebut, para pemimpin perlu memunculkan empati sebagai nilai keutamaan dihadapan publik.
Kekuasaan dan kepemimpinan yang menjadi satu tarikan nafas, seperti Simon Sinek, 2020, Leaders Eat Last, adalah mereka yang berani mengambil jalur pengabdian serta pelayanan dalam kesengsaraan, bukan sebaliknya, yang berbiak tamak justru atas nama kepentingan pribadi.
Leiden is lijden!. Demikian pepatah kuno Belanda, yang menyebut kepemimpinan adalah jalan penuh duri penderitaan, seperti dikutip oleh Mohammad Roem dalam tulisan berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita" (Prisma, 1977).
Pemimpin bukan sekedar figur populer yang dikerek dengan citra imajiner melalui poster dan spanduk. Sang pemimpin hadir dengan membangkitkan kepercayaan bersama, menyebar optimisme, menjejak pada suatu tujuan, dengan menanggung seluruh derita.
Pekik lirih merdeka!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.