Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hafizh Zulmar

Menelisik kembali Dinamika Runtuhnya Tembok Berlin 1961-1989

Sejarah | Monday, 05 Jul 2021, 06:42 WIB

Pada tanggal 13 Agustus 1961, sekitar 250.000 tentara dan polisi Berlin Timur memasang blokade kawat berduri. Sedangkan di wilayah Berlin Barat, beberapa hari kemudian dibangun sebuah tembok beton yang juga dilengkapi oleh puing-puing batu dan pagar besi. Panjangnya tembok memisahkan sekaligus memblokir jalan, alun-alun, dan rel kereta api. Tepat pada hari inilah Berlin Barat menjadikan wilayahnya dalam keaadaan terisolasi dari dunia komunis dan sekaligus menandakan terpisahnya ratusan keluarga yang tidak akan dipersatukan kembali selama bertahun-tahun. Setelah rampung dibentuk, tembok Berlin memiliki panjang 155 kilometer. Ketika rampung, pada sisi tembok Berlin Timur terdapat banyak aparat kemanan, blokade kawat berduri, menara pengawas, anjing penjaga, sensor, dan penjaga-penjaga dengan dilengkapi senapan mesin. Hal ini tentunya bertujuan untuk mencegah orang-orang untuk pergi.

Sumber Foto: en.wikipedia.com

Pembangunan tembok sekaligus melahirkan sebuah tanah tak bertuan sepanjang 30 hingga 100 meter yang tidak dapat dilintasi oleh orang biasa. Hal ini juga akibat dari mekanisme pertahanan sisi tembok yang sering direstrukturisasi menjadi lebih efisien setiap beberapa tahun. Oleh karenanya, orang-orang yang mencoba untuk melarikan diri lewat tembok sangat beresiko untuk mendapat hukuman penjara dan bahkan resiko kematian.

Pasca pendirian tembok, di beberapa wilayah terjadi sebuah ketidakstabilan pandangan dan opini tertentu. Hanya sedikit dukungan yang ditujukan setelah berdirinya tembok, selebihnya, kritik yang ada justru cenderung bersifat negatif. Pada saat itu umumnya penduduk banyak yang menganggap bahwa pendirian tembok adalah sebuah pelanggaran kebebasan, lunturnya demokrasi, dan sebuah proses pemecahan nasional secara mendalam.

Kritik-kritik demikian cenderung ditujukan kepada pemerintah Berlin Timur beserta partainya. Bahkan dalam beberapa hari tembok ini diresmikan, golongan pemuda yang berada di sekitar wilayah tembok tersebut mengalami beberapa konflik dengan pihak polisi yang saat itu bertugas mengawasi perbatasan. Banyak pemuda yang pada saat itu berusaha melepaskan kawat berduri dan merusak instalasi perbatasan lainnya di sekitar area tembok. Akibat hal ini, umumnya pemuda-pemuda tersebut di represi oleh pihak kepolisian dengan mengancam akan ditembak bayonet dan dibubarkan dengan menggunakan meriam air.

Pada wilayah Berlin Barat, pasca pembangunan tembok, penduduk disana marak membawa spanduk-spanduk kritik ke wilayah Timur dan banyak membuat protes melalui pembuatan karikatur dan aksi-aksi vandalisme yang dituangkan di wilayah tembok.

Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat berdirinya tembok ini adalah pada aspek ekonomi. Pertukaran dan arus perekonomian antara wilayah Berlin Barat dan Berlin Timur menjadi terhenti. Sekitar 63.000 warga Berlin Timur kehilangan pekerjaan mereka di Barat dan 10.000 warga Berlin Barat kehilangan pekerjaan mereka di Timur. Selain mengakibatkan banyaknya penduduk yang kehilangan mata pencaharian, tembok juga menyebabkan hilangnya semarak kehidupaan perkotaan yang awalanya gemerlap. Banyak perkotaan yang kemudian seperti berhibernasi dan tidak terawat akibat pemeliharaan yang buruk.

Untuk mengatasi kedua hal ini, pemerintah Berlin Timur saat itu memanfaatkan sektor pariwisata untuk memulihkan keadaan. Pada saat itu pemerintah memutuskan bahwa dengan biaya tertentu pengunjung-pengunjung asing dari bagian Barat diizinkan masuk dengan pengawasan yang ketat. Pemulihan dari sektor pariwisata juga terlihat dari dibangunnya sebuah Menara setinggi 361,5 meter bernama Fernsehturm di Alexanderplatz yang diatas menaranya terdapat sebuah restoran. Walaupun demikian, sejatinya tembok tetap melahirkan sejumlah penghalang tak terlihat, menciptakan dua kota berbeda yang berimplikasi pada hilangnya identitas sipil, terhambatnya pembangunan, hilangnya inovasi ekonomi, dan hubungan lainnya.

Akibat dampak ekonomi ini kemudian juga berimplikasi pada banyaknya tingkat pelarian penduduk Berlin Timur. Tercatat pada tanggal 20 September 1961 terjadi sekitar 284 kasus pelarian, dari total jumlah tersebut, umumnya pelarian dilakukan oleh para pemuda. Banyak dari mereka yang cenderung lari dari tembok dengan memotong kawat berduri lalu melompat ke luar tembok, berenang melalui sungai dan kanal, atau menyusup melalui kapal dan kereta api yang bergerak. Selain usaha-usaha pelarian seorang diri, warga disekitar tembok juga terkadang bekerja sama untuk melarikan diri. Mulai dari menabrak tembok dengan lokomotif, membuat balon udara, dan menabrak tembok dengan bus lapis baja. Selain itu, umumnya penduduk juga seringkali membuat terowongan, tercatat sebelum tahun 1965 terdapat tiga puluh sembilan terowongan yang semuanya digunakan untuk melarikan diri.

Pasca didirikannya tembok, tercatat 1.000 orang yang mencoba melarikan diri terluka parah dan 72.000 orang lainnya ditangkap dan dipenjara. Laporan pemerintah Jerman Barat juga mencatat setidaknya terdapat 274 kasus pembunuhan, 144 diantaranya terjadi di sekitar area tembok. Secara keseluruhan juga tercatat bahwa antara bulan Agustus 1961 hingga Maret 1989, sekitar 5.075 orang berhasil melarikan diri ke Berlin Barat. Faktor keberhasilan pelarian inipun beragam, mulai dari berenang menyebrangi sungai, menggunakan kendaraan khusus, hingga dibantu oleh penjaga perbatasan yang satu kebangsaan. Namun dalam hal ini tidak semua penduduk yang melarikan diri mengalami keberuntungan. Banyak pula yang berakhir dengan kematian, tercatat selama periode tersebut, sekitar 588 orang tewas ketika hendak menyebrang ke Berlin Barat.

Kesadaran politik rakyat Berlin Timur mulai berkembang ada periode 1980-an. Dalam perjalanannya banyak warga yang akhirnya protes terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Mereka menyadari bahwa pemerintah dengan paham sosialismenya adalah sebuah kebohongan. Umumnya, rakyat yang protes terhadap pemerintah dipengaruhi dan terinspirasi oleh gerakan-gerakan yang ada diluar Berlin. Selain rakyat sipil, pada tahun-tahun ini marak bermunculan aktivis-aktivis lokal yang menuntut reformasi dengan jalur konfrontasi. Gerakan aktivis tersebut umumnya berafiliasi dengan gereja sebagai wadah pergerakan.

Hal ini terlihat ketika pada tahun 1988 terdapat gereja di Berlin Timur yang mengeluarkan dua puluh poin tesis yang isinya menyebarluaskan publikasi tentang narasi politik yang ditujukan kepada pemerintah. Akibat hal ini, pemerintah Berlin Timur pada saat itu merespon dengan melarang memblokir publikasi-publikasi tersebut. Disatu sisi, pemimpin gereja lokal juga mulai terlihat melahirkan Gerakan-gerakan ke arah yang progresif. Pada saat itu, beberapa dari mereka mengambil sebuah inisiatif untuk menawarkan dukungan dan bimbingan kepada orang-orang yang ingin bermigrasi ke wilayah lain.

Munculnya kesadaran politik sangat berimplikasi terhadap lahirnya ketidakpuasan politik pada tanggal 7 Mei 1989. Ketidakpuasan tersebut terjadi akibat sifat otoriter pemerintah Berlin Timur. Pemilihan tunggal pada saat itu cenderung membuat rakyat terkekang, mereka tidak diberi kebebasan dalam memilih. Rakyat yang saat itu tidak memberikan suara dianggap sebagai golongan yang menentang pemerintahan. Akibat hal inilah banyak aktivis yang pada saat itu semakin marak mengorganisir pergerakan-pergerakan yang menentang pemerintahan seperti melakukan boikot di berbagai aspek. Mereka juga seringkali melakukan protes-protes secara terbuka di muka umum dan beberapa dari mereka juga menuntut negara ke lembaga hukum dan mengirim petisi ke Jaksa setempat atas dugaan ketidakwajaran pemerintah dalam menjalankan pemerintahan di Berlin Timur. Pada tahun 1989, pemerintah Berlin Timur mencatat bahwa terdapat seratus enam puluh kelompok yang diindikasikan menjadi ancaman keamanan nasional. Diantara jumlah tersebut, sebanyak seratus lima puluh kelompok merupakan Gerakan-gerakan aktivis lokal yang berafiliasi dengan gereja dan melibatkan sekitar 2.500 orang.

Sumber Foto: nationalgeographic.com

Timbulnya kesadaran politik sipil di Berlin sangat berimplikasi terhadap banyaknya gelombang protes yang bertubi-tubi dari masyarakat sisi Jerman Barat dan Jerman Timur untuk meraih kebabasan. Beragam demonstrasi terjadi, mulai dari yang hanya melemparkan protes secara damai dan tertib, hingga aksi yang banyak memicu konflik dan upaya-upaya kekerasan, tak jarang bentrokan dengan pihak keamanan juga kerap terjadi. Pada bulan Oktober hingga November tahun 1989, terjadi ketegangan di area-area perbatasan tembok. Tercatat di beberapa wilayah seperti di Dresden dan Leipzig mengalami lonjakan demonstran secara masif. Sekitar 80.000 orang terlibat Gerakan demonstrasi di wilayah tersebut.

Kesadaran dalam diri masyarakat Jerman yang ingin sekali kembali bersatu tanpa adanya tembok yang menghalangi kegiatan dan aktivitas mereka meningkat secara signifikan. Seiring dengan memanasnya kondisi Jerman dengan maraknya demonstrasi pada saat itu, beberapa pejabat pemerintahan Jerman Timur mulai merasa kehilangan harapan. Banyak dari mereka yang akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya dan melepas kewajiban dalam menangani permasalahan sosial ini karena menganggap bahwa demonstrasi yang ada menunjukkan bahwa rakyat memang telah memantapkan diri untuk pergi.

Akibat dari hal inilah pada saat itu pemerintahan Berlin Timur mengalami permasalan kekosongan jabatan. Pemasalahan ini semakin pelik ketika pada bulan Oktober demonstrasi yang ada semakin membengkak, tercatat pada saat itu terdapat 145 demonstrasi diberbagai wilayah yang melibatkan hingga 540.000 orang. Kompilasi dari permasalahan inilah yang akhirnya membuat Tembok Berlin runtuh pada tanggal 9 November 1989. Krisis sosial dan protes-protes yang masif terhadap pemerintahan Berlin Timur dapat dikatakan menjadi penyebab utama runtuhnya tembok, dan sekaligus mengakhiri eksistensi komunis di Eropa.

Sumber Foto: slate.com

Sumber:

Dumont, Gerard-Francois. (2009). The Berlin Wall: Life, Death and the Spatial Heritage of Berlin. (History Matters).

Gabriel M., Stephen J., Daniel M., dan Nikolaus W. (2015). The Economics of Density: Evidence from The Berlin Wall. (Econometrica, Vol.83, No.6).

Major, Patrick. (2010). Behind the Berlin Wall: East Germany and the frontiers of power, (United States: Oxford University).

Ross, Corey. (2004). East Germans and the Berlin Wall: Popular Opinion and Social Change before and after the Border Closure of August 1961. (Journal of Contemporary History, Vol.39, No.1).

Rottman, Gordon L. (2008). The Berlin Wall and The Intra-German Border 1961-89. (New York: Osprey Publishing Limited).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image