Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Revala Arlina

Penjual Pisang di Pertigaan

Sastra | Friday, 29 Apr 2022, 11:15 WIB

Cerpen Revalina

Sudah beberapa kali mataku menangkap sosok laki-laki paruh baya dengan tampang memelas setia menggelar jualan pisangnya yang tak seberapa. Entah kenapa pula baru akhir-akhir ini aku melihatnya, padahal tempatnya berjualan merupakan rute yang sehari-hari aku lalui.

Mungkin karena pemandangan sore kemarin teramat riuh kurasa. Sepanjang jalan padat merayap. Entah karena pandemi yang lumayan panjang durasinya atau memang murni bahagia yang dirasa orang-orang karena bulan Ramadhan. Namun, tidak demikian dengan kondisi Bapak penjual pisang yang berada tepat di pertigaan jalan itu.

Ekspresinya tampak datar, hanya Tuhan yang tahu apa yang berada dalam pikiran dan hatinya. Mataku yang semula sibuk mendata orang yang lalu lalang di sepanjang jalan dengan aneka belanja dan derai tawa bahagia bersama anak, pasangan atau mungkin pula kerabat, semoga bukan kekasih apalagi kekasih gelap(doaku dalam hati) karena ini bulan puasa.

Ya kondisi Bapak penjual pisang tersebut mampu mengalihkan semua perhatianku. Ia sebuah pemandangan yang “berbeda.” Itu sebabnya, aku kini memikirkannya. Berapa kah untung yang Ia dapat sehingga istiqamah berjualan pisang cukup lama? sampai apakah yang sedang ia perjuangkan hingga terlihat kurang bahagia? Anaknya sakitkah? Atau istri mulai rewel karena setoran belanja tak kunjung cukup?

Sore itu tepatnya setelah adzan ashar usai dikumandangkan, bergegas kupacu motor menuju tempat aku memesan ketan panggang kudapan khas keluarga untuk berbuka puasa, karena giliran bukber di rumah paman sebelah rumah persis . Karena tak enak rasanya datang melenggang dengan tangan kosong.

Seperti sudah menjadi kebiasaanku setiap lewat pertigaan tersebut hal yang akan kulakukan adalah memastikan keberadaan Bapak penjual pisang . hari itu kudapati Ia termangu di atas jok motornya yang sudah usang. Ada rasa sedih yang mendalam berkelebat dalam hati andai aku bisa melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tersenyum. Bunyi klakson dari arah belakang membuyarkan lamunanku, dan tersadar aku adalah bagian dari lalu-lintas yang bila aku atau siapa saja berlaku ceroboh bisa berakibat pada semua orang. “hellooo, Arin siapa kamu hingga berharap bisa membantu Bapak Penjual pisang tersebut?, suara dari dalam hati seakan mengejek diriku. Jangankan menolong orang lain, menolong hidupmu saja engkau tak mampu!.

Lihat dirimu terlalu banyak berkhayal dan sok hendak berbuat baik, padahal hidupmu sendiri perlu pertolongan. “ Sudahlah, berhenti memikirkan Bapak tersebut, sekedar membeli pisangnya sekalipun tidak kau lakukan?, hardik suara batinku lagi. Ya aku larut dalam upaya andai bisa berbuat yang lebih besar padahal aku bisa memulainya dengan satu tindakan pasti, membeli salah satu perediaan pisangnya. Faktanya aku tidak berani mengendarai kendaraan sendiri yang membuatku leluasa berhenti dan pergi sesuka hati. Selama ini aku mengandalkan ojol atau diantar kerabat. “ jadi Arin, mulai sekarang berhenti memikirkan rencana-rencana besar yang terdengar muluk , lebih baik dimulai dengan hal kecil dan nyata!”, demikian suara hati mempertegas. “ Dan lagi Arin dengan kualitas diri seperti sekarang apa yang bisa Engkau perbuat? Untuk banyak menebar manfaat?, bertubi-tubi suara hati menghujaniku aneka pandangan. Berapa banyak orang yang bernasib seperti Bapak penjual pisang itu di republik kita tercinta ini? Yang katanya kaya namun lebih banyak import daripada ekspor?

Malam yang syahdu di bawah bulan yang bersinar nan romantis. Arin tengadah berdoa dengan khusyu melalui semilir angin nan lembut kepada Sang Pemilik Hidup agar menjadikannya penulis yang produktif. Di mana ia bisa berjuang menyuarakan kebaikan dalam kebenaran, sehingga Bapak penjual pisang di pertigaan tidak bertambah jumlahnya. Atau minimal melalui karyanya Ia bisa membuat orang yang membaca terhibur lalu penuh syukur turut menyebar kebaikan dalam damai.

Jelang tidur Arin teringat doktrin Maha Guru,”Tulis Na, jangan terlalu banyak berpikir!” karena dengan memulai Kau akan semakin terampil. “Laksana juru masak handal karena mengulang terus resep yang sama!”, begitu analoginya pesan Sang Maha Guru kepada Arina Malika Aurora.

https://images.app.goo.gl/7JJZk1jdmbHtdAeZ9

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image