Sastra Profetik Kuntowijoyo
Sastra | 2022-04-25 12:44:39Dua hari kemarin saya ikut Pesantren Sastra yang digelar FLP bandung. Saya tertarik mengikuti kajian ini lantaran yang dibahas adalah sastra profetik yang digagas Pak Kunto, sastrawan sekaligus sejarawan dan cendekiawan Muslim.
Kang Topik Mulyana menyebut Pak Kunto sebagai anutan para penulis Muslim. Bukan tanpa sebab, sastra profetik yang diajukan Pak Kunto sebagai penengah antara sastra materialis dan sastra sufistik menjadi warna baru. Sepemahaman saya, konsep sastra profetik Pak Kunto sebagaimana ia jelaskan dalam Maklumat Sastra Profetiknya adalah upaya menghadirkan keseimbangan antara semangat ketuhanan dan kemanusiaan.
Sosok Pak Kunto yang begitu luas pandangannya tentang sejarah dan keislaman membuat konsep sastra profetik ini begitu terkesan mudah, tapi sebenarnya rumit juga. Di sisi lain, Pak Kunto menegaskan sastra profetik sebagai sastra ibadah dengan misi kenabian (humanisasi, liberasi, transendensi) bukanlah Islam simbolik.
Setidaknya itu tecermin dari karangan-karangan beliau yang tidak melulu memunculkan simbol agama. Mungkin ini bedanya sastra profetik dengan sastra sufistik. Sastra sufistik kerap memunculkan agama sebagai simbol. Sedangkan sastra profetik menginginkan lebih dalam dari sebatas simbol.
Simbolitas dalam dunia kepengarangan memang penting. Tetapi, bicara substansi dan isi tentu jauh lebih penting. Misalnya saat membaca cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" kita akan dihadapkan dengan konflik keseharian tentang paksaan bapak yang seorang montir bengkel dan kakek pencinta kembang yang sehari-hari merawat bunga untuk mencapai ketenangan hidup. Keduanya bertentangan. Bagi sang bapak, bekerja dan berlumur oli adalah tanda kehidupan bagi lelaki. Lelaki baginya tidak mengurus kembang.
Nah, sang anak yang saat itu dihadapkan dua sisi berbeda. Memilih diam-diam menemani sang kakek menyiram bunga-bunga. Bukankah menyiram kembang, mencium harum kembang, dan melihat mereka bermekaran itu suatu ketenangan dan kebahagiaan? Sang kakek mengajarkan anak itu untuk memaknai sesuatu lebih dalam. Bekerja tentu penting, sebab di situ akan diperoleh rezeki. Tetapi meraih ketenangan hidup juga tak kalah penting.
Nah, bila ingin melihat bagaimana estetika dan budaya Islam itu menyatu dapat kita lihat dalam kumpulan sajak Makrifat Daun Daun Makrifat. Sajak-sajak yang dimulai dengan bait-bait barzanji dan shalawat. Namun, di sana juga dapat kita temukan kritik sosial, utamanya untuk masyarakat perkotaan. Seperti kita tahu, Pak Kunto dengan masa kecil sebagai anak desa, kemudian mengalami perpindahan ke kota membuatnya begitu menaruh perhatian atas gap di antara keduanya. Tradisionalitas bagi Pak Kunto bisa hadir juga dalam masyarakat kota yang notabene modern.
Ia membagi fase tersebut menjadi fase mitos, ideologi, dan ilmu. Masyarakat modern umumnya sudah meninggalkan mitos dan beralih ke ideologi, bahkan ilmu. Namun, tak dimungkiri di fase masyarakat ilmu pun tetap ada mitos dan pemitosan. Sebab, hal itu tampaknya tak bisa dilepaskan begitu saja dari kebudayaan kita.
Kenyataan ini masih kita hadapi hari ini. Ketika di tengah gegap gempita kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, jasa pawang hujan masih memiliki tempat. Kultus individu yang berlebihan pun masih terjadi, padahal ini bukan lagi zaman nabi atau wali.
Kembali ke sastra profetik, Pak Kunto seperti memberikan kita sebuah khazanah yang besar yang ia sendiri sebenarnya belum usai menggarapnya. Ini menjadi pekerjaan berat, apalagi di tengah menjamurnya sajian horor, drama perselingkuhan, dan drama pop yang begitu bebas dari nilai.
Maka, hemat saya, para peneliti dan akademisi sastra mesti kembali menggali apa yang telah dimulai Pak Kunto. Teruskan kembali maklumat sastra profetik. Tentu, hal ini tidak mudah. Sebab, meski sudah banyak yang mengembangkan teori ilmu sosial profetik di berbagai ranah keilmuan, yang terkhusus dalam bidang sastra agaknya masih terbengkalai.
Apa memang disebabkan Pak Kunto tidak begitu dikenal sebagai sastrawan? Ia memang lebih dikenal sebagai cendekiawan Muslim, oleh sebab tulisan-tulisannya yang begitu banyak menyoal keislaman dan fenomena sosial. Sebutlah Muslim Tanpa Masjid, Paradigma Islam, dan Identitas Politik Umat Islam. Ketiga buku ini membawa gagasan besar beliau tentang bagaimana objektifikasi Islam itu dapat direalisasikan tidak hanya di ranah interpretasi, tetapi juga di ranah aksi.
Kebesaran dan keluasan jangkauan Pak Kunto agaknya membuat namanya sebagai sastrawan tak sebesar Taufiq Ismail, Abdul Hadi WM, ataupun Umar Kayam. Meski begitu, gagasan sastra profetik ini merupakan fondasi kuat, meski dinilai beberapa akademisi sebagai sesuatu yang ngambang dan belum operasional. Mengapa kuat? Sebab, Pak Kunto tidak main-main dengan teori dan gagasannya. Ia sendiri sudah memulai itu sejak awal masa kepenulisannya. Setidaknya dilihat dari buku-buku sastra awal yang ia tulis.
Bagi pembaca dan penikmat karya-karya Pak Kunto pasti memahami betul bagaimana sastra profetik itu bukan sastra ceramah, bukan sastra yang bertaburan diksi keagamaan. Tetapi penggambaran realitas, persoalan sosial dan politik yang kerap kita temukan di masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.