Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhtar Lintang

BERBAIK SANGKA BINGKAI INDAH PENGENDALIAN NAFSU

Curhat | Saturday, 23 Apr 2022, 20:58 WIB

Ramadhan baru ke delapan ..,dan saat itu masih terlalu pagi untuk membayangkan menu berbuka hari yang menjadi bagian bulan mulia ini. Sekira pukul 9.45 pedagang kuliner di pinggir jalan itu memasang "baliho mungil" menawarkan hidangan halal tapi haram bila dikonsumsi di pagi jelang siang itu. Pemandangan yang memicu “tokoh kita” Komat dan Kamit gatal untuk membahasnya. Situasi “ganjil” dimata mereka ini mau nggak mau memicu diskusi kecil dua aktifis mesjid yang dibuat risau karenanya. Panas nan seru diskusi keduanya, membahas substansi yang sedang dilihatnya dengan situasi saat ini, puasa. Bagi mereka berdua itu tentu sesuatu yang menyangkut perihal agama yang mereka anut dan yakini benar perintah-perintahnya. Panas karena memang pagi itu matahari sedang terik tanpa hijab mendung selembarpun. Seru karena materinya aktual dan menarik menurut mereka. Tentu saja kemanfaatannya hanya untuk berdua. Sayang memang ..mereka “bukan tokoh beneran”, kalau saja mereka "tokoh beneran" tentunya sudah menjadi nara sumber dalam acara-acara "debat" yang terkadang penuh nafsu melalui kanal-kanal publik, yang ungkapan kata-katanya, pemikirannya dan bahkan gayanya dapat mempengaruhi dan digandrungi publik. Namun mereka berdua yang “bukan tokoh beneran” ini sadar bahwa agama bukanlah retorika apalagi debat. Mereka sepakat agama adalah tidakan, amalan yang dilandasi ilmu yang dituntunkan dari guru, gurunya guru, guru guru gurunya guru dst., hingga bermuara pada sumbernya, Rasulullaah Muhammad S.A.W. Tentu merupakan aib keimanan bila sepagi itu terlihat/kepergok seseorang menikmati hidangan makan atau minum. Aib keimanan karena berarti dia tidak termasuk yang “hadir” diundang dalam "pesta" tanpa hidangan makan minum alias puasa. Pesta luar biasa yang lain dari pada yang lain. Pesta yang keindahan, kemeriahan dan kemewahannya hanya bisa dimengerti, dirasa serta dinikmati oleh jiwa beriman dan ihlas.

“Waaah khan sudah jelas ..setidaknya itu orang tidak mengindahkan perintah agama”, timpal tokoh kita yang lain Kamit namanya, memberi penilaian.

“Tunggu dulu sobat .., apakah sobat yakin kalau dia beragama yang seharusnya mengindahkan perintah agamanya itu?,” tanya tokoh kita yang pertama Mas Komat, sedikit mengoreksi penilaian sahabatnya. “Yaa .tidak sih, mana saya tahu kan saya nggak kenal sama dia”, jawab Mas Kamit “tokoh” kita yang lain. Justru itu sob ., mungkin saja dia bukan penganut agama Islam sebagai syarat utama wajib menjalankan puasa Ramadhan”, ujar Mas Komat tidak salah sangka.

Tiba-tiba salah satu “tokoh bukan beneran” kita ini namanya Komat berkata,”Eit ..tapi tunggu dulu kita tidak boleh gegabah begitu saja membuat vonis kejam dan menempelkan coreng aib bagi orang yang kelihatan sedang menikmati sarapannya di saat orang lain menjalankan puasa Ramadhan”.

“Lhah kalau benar dia beragama Islam .?”, lanjut Kamit sengaja mengembangkan “diskusinya”. “Kalau dia beragama Islam mestinya yaa wajib puasa , tapi coba perhatikan dengan seksama apakah dia sudah dewasa (baligh) atau belum?”, jawab Komat dengan tetap berhati-hati.

Dengan sedikit meningkatkan tekanan kalimat tanyanya, Kamit bermaksud memberi bukti,”lihat sob !, kumis setebel itu belum dewasa?”. Secara fisik memang dia yang dimaksud duo sahabat ini memang layak disebut dewasa. Tinggi badan, dada bidang, lengan tangan berisi, kaki tegak lagi kokoh ., pendek kata atletis dan keren lah ., dipadu kumis tumbuh tebal memperlihatkan bahwa dia adalah pemuda dewasa nan gagah. “Yaa .kalau sudah dewasa dan beragama Islam sih harusnya wajib puasanya”, Komat menyimpulkan pengamatan sahabatnya. “Naah coba pikirkan itu sob .., masa seenaknya sendiri makan di depan umum begini”, kata Mas Kamit semakin agresif dalam “diskusinya”.

“Sobat .tetaplah berhati-hati dengan apa yang sobat lihat, karena mungkin juga dia sedang dalam perjalanan yang dibenarkan untuk berbuka dari puasanya”, Kata Komat seperti menasehati sobatnya itu. “Kalau lihat penampilannya sih ..dia bukan musafir sob .., tidak ada tentengan layaknya seseorang dalam perjalanan jauh”, sergah Kamit. Komat masih tetap berusaha menjaga agar sobatnya tidak terjebak dalam persangkaan jelek kepada orang lain dengan memberikan argument setengah bercanda,”orang dalam perjalanan jauh tidak kudu bawa bekel bungkusan besar sob .., bisa saja cukup bawa ATM dengan isi penuh kebutuhan akomodasi dan oleh-oleh tidak perlu dikhawatirkan”. “Oke sob ., taruhlah dia ternyata memang bukan musafir ., mungkin saja dia sedang sakit yang butuh asupan nutrisi terbaik untuk penyembuhannya”, tambah Komat menggali kemungkinan persangkaan baik. Namun Kamit dengan sedikit senyum yang kurang jelas maknanya dia berkomentar,”Sakit kok keluyuran di warung .., sakit ya tiduran di kamar atau di Rumah Sakit, kok malah .”. Mungkin bukan fisiknya yang sakit sob .., tapi jiwanya ., karena syarat wajib berpuasa salah satunya adalah “berakal” alias akalnya atau jiwanya sehat.

Kita nggak boleh memaksa .bahkan secara pikiran memaksa mereka yang tidak punya kewajiban berpuasa untuk berpuasa. Lantas .?, iya biarkan saja ., kalau memang dia sedang “sakit jiwanya” kita doakan saja semoga Alloh segera angkat penyakitnya dan bisa menjalani puasa seperti orang-orang yang sehat lainnya.

Wallahu a’lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image