Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diyah Kartika

Resensi Buku Gelap terang Hidup Kartini

Sejarah | Thursday, 21 Apr 2022, 20:26 WIB

Diyah Kartika Dewi

sumber gambar:kanalmu.com

Buku ini menuliskan perjuangan perempuan bangsawan Jawa bernama Kartini. Pemikirannya bisa memajukan kehidupan perempuan pribumi dan menginspirasi gerakan nasionalis Indonesia sebelum kemerdekaan (feminisme awal). Kartini menuangkan ide-idenya melalui ratusan suratnya yang ditujukan pada sahabat-sahabatnya yang bernama Marie Ovink-Soer, Johanna Van Woude, Nellie van Kol Porreij, Stella (Esttelle Zeehandelaar), J.H Abendanon bersama istrinya Rosa Manuela Abendanon-Mandri, dan Mrs. De Booy-Boissevan. Kartini sosok yang menyerap ide-ide barat, akan tetapi tidak terkooptasi oleh pemikiran kolonial, dan dia juga tidak sepenuhnya mengikuti adat tradisi bangsawan Jawa. Dari perjuangannya inilah Ia dijuluki pahlawan emansipasi perempuan. Sifat Kartini dapat menjadi teladan bagi kehidupan perempuan agar lebih maju, berpendidikan, tidak tertindas dari apapun, dan keberadaannya bisa lebih dihargai.

Kartini merupakan anak tertua Adipati Ario Sosroningrat dari garwa selir Ngasirah lahir pada tanggal 21 April 1879. Sejak kecil Kartini mempunyai pribadi yang semangat, lincah, mandiri dan berpikir kritis sehingga mampu mengartikulasikan argumennya. Namun karena geraknya dibatasi adat, Kartini masuk pingitan ketika usia menginjak 13 tahun hingga menemukan jodohnya. Karena taat dan hormat kepada ayahnya, akhirnya kalah dengan adat dan dia setuju menikah poligami di usia 24 tahun dengan Bupati Rembang yaitu Djojodiningrat. Dalam pernikahannya tersebut Kartini dikaruniai seorang putra dan diberi nama Soesalit. Beliau wafat pada tahun 1904 diusia 25 tahun dan sepeninggal Beliau surat-surat yang ditulis kepada sahabat-sahabatnya tersebut dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku.

Melalui surat-suratnya, Kartini menyampaikan tentang ketidaksetujuannya pada tradisi perjodohan, poligami, dan pingitan bagi perempuan muda. Adat ini banyak menimbulkan penderitaan dan kesedihan yang mendalam bagi kaum perempuan. Pembatasan gerak maju perempuan hanya dipersiapkan untuk pernikahan dan melanjutkan keturunan bahkan tidak lebih dari itu. Awal perlawanan Kartini dimulai dari keluarganya sendiri. Dia bersama kedua adiknya (Roekmini dan Kardinah) berani mengubah etiket atau unggah-ungguh yang dinilai merepotkan. Contoh Kartini menghendaki dua saudaranya langsung memanggil kakaknya itu dengan sebutan “kamu” demikian sebaliknya, tidak perlu tata cara “jongkok dan sembah ". Perempuan ningrat Jawa ini juga menentang praktik budaya yang menindas. Dia mencoba menerapkan slogan Revolusi Perancis yaitu kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, ternyata kedua saudara perempuannya menanggapi positif tentang hal itu sehingga hubungan antarmereka semakin akrab dan tidak kaku lagi. Kartini juga memikirkan kemajuan yang adil bagi kaum perempuan. Perempuan harus punya masa depan bukan menjadi korban keadaan.

Awal mula korespondensi Kartini dengan sahabat-sahabatnya (para tokoh feminis) di negeri Belanda dimulai dengan perkenalannya pada Marie Ovink-Soer, Ia adalah istri dari Asisten Residen Ovink yang bertugas di Jepara sesaat sebelum Kartini dipingit. Setelah persahabatannya dengan Marie terjalin, kehidupan Kartini dan dua saudaranya menunjukkan sedikit lebih bebas, terlihat ketika mereka bertemu bisa saling mengobrol, bermain musik, membuat kerajinan tangan, dan berdiskusi. Usaha Marie Ovink membantu Kartini terlihat bahwa Marie membujuk Adipati Ario Sosroningrat supaya berlangganan majalah Hollandsche Lelie untuk Kartini dan dua saudaranya. Kartini menulis bagaimana dia kehilangan kegembiraan dan untuk menghilangkan kebosanan Ia menghibur diri dengan membaca buku, koran, dan majalah langganan ayahnya tersebut. Menurut Marie Ovink, Kartini pribadi yang lembut dan cerdas. Dalam suratnya dia menyatakan keinginannya bersekolah ke Belanda. Marie menjulukinya tokoh feminis Jawa. Dari pesan Kartini, Marie akhirnya membuat tulisan pada majalah remaja mingguan Belanda tentang tradisi perjodohan dan poligami di Jawa. Setelah Ovink tidak bertugas lagi di Jepara, Marie dan Kartini tetap menjalin komunikasi melalui surat. Dari Marie inilah Kartini berkenalan dengan Johanna Van Woude pemilik majalah Hollandsche Lelie. Akhirnya, Kartini mulai menulis surat kepada Johanna Van Woude. Keinginannya diutarakan untuk bisa membuat iklan di majalah milik Johanna tersebut, bahwa Ia ingin sekali mencari sosok teman perempuan sebaya untuk dapat saling berkirim surat. Sosok yang peduli tentang perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa. Iklan tersebut rupanya disambut baik oleh Stella. Akhirnya keduanya berkenalan dan menjadi sahabat pena hingga akhir hidup Kartini belum pernah bertemu dengan Stella. Selain dengan Stella, Kartini juga akrab dengan Nellie van Kol Porreij editor dari majalah Hollandsche Lelie.

Meski dalam pingitan Ia tetap menyalurkan pikirannya melalui tulisan dan mengirimkan juga kepada sahabat penanya bernama Stella (Esttelle Zeehandelaar) yang dikenalnya tahun 1899. Stella merupakan seorang aktivis feminis pembela hak-hak perempuan, anak-anak, kaum miskin, binatang, dan kaum jajahan. Surat-surat yang ditujukan Kartini kepada Stella berbicara tentang berbagai topik yang berisi tentang teori sosial dan kenyataan yang terjadi dan diceritakan dengan ide cerdas dan lugas. Selain itu tentang feminism dengan pendekatan sosial, politik, budaya, agama, ekonomi yang dilihat dari sudut pemikiran perempuan. Bercerita juga tentang idenya yang menyerukan pendidikan bagi orang Jawa agar tidak berpoligami dan terpuruk dalam kemiskinan. Kartini juga mengungkapkan kegembiraannya saat ayahnya mengajak dia dan dua saudaranya ke peresmian sebuah gereja Belanda baru, sedangkan dari sahabatnya Stella, Kartini belajar tentang tanggungjawab sebagai seorang bangsawan (concept adeldom verplicht). Semakin tinggi derajat kebangsawanan seseorang maka semakin berat tugas dan tanggungjawab kepada rakyat.

Melalui persahabatan dengan Marie Ovink dan Stella inilah kemudian Kartini bisa mengenal Nyonya Abendanon. Dengan Nyonya Abendanon, Kartini menceritakan kesedihan yang dialaminya tentang keinginannya membangun sekolah dan rencananya ingin melanjutkan sekolah sampai-sampai Ia memohon sambil menangis dan bersujud kepada ayahnya agar diperbolehkan melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Dia menceritakan kekagumannya terhadap kakeknya yang bernama Tjondronegoro yaitu seorang Bupati yang pernah mengenyam pendidikan barat, tetapi dia sungguh kecewa terhadap ayahnya yang ragu untuk menyekolahkannya itu. Kartini mendapatkan pendidikan formalnya tertinggi di Europeesche Lagere School sampai tingkat Sekolah Dasar, pendidikan bahasa Jawa, dan pendidikan membaca Al-quran. Padahal Kartini ingin sekali sekolah Hogere Burger School di Semarang tetapi tidak tercapai. Selain itu, surat yang ditujukan Nyonya Abendanon menceritakan tentang etnis tionghoa. Rupanya kumpulan surat yang dikirim ke Nyonya Abendanon itu, tujuh tahun setelah meninggalnya Kartini diterbitkan oleh Tuan Abendanon yang adalah seorang Direktur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda tahun 1911 dan mengguncang Amsterdam.

Jejak korespondensi Kartini tidak sampai disitu saja, tetapi terdapat riwayat korespondensi kepada Mrs. de Booy-Boisevan (1902). Perkenalannya diawali dengan pertemuan saat Kartini dan kedua saudaranya diajak ayahnya menghadiri pernikahan pasangan opsir laut Hendrik de Booy dengan Hilda Gerarda Boisevan. Dengan Nyonya Booy-Boisevan, Ia menceritakan kegiatan menulis suratnya bahkan tanpa kenal lelah, hanya istirahat sebentar saat sore dan malam hari, dia selalu menulis surat sampai larut malam.kemudian pukul lima pagi, dia sudah menyalakan lampu untuk melanjutkan menulis. Kesedihan yang dialami ketika salah satu dari tiga saudara ini harus berpisah karena penikahan perjodohan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image