Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Samdy Saragih

Kisah Seorang Guru Nasrani dan Dua Rekening Syariahnya

Bisnis | Monday, 24 May 2021, 08:20 WIB

Ibu Purba, begitu guru perempuan 58 tahun ini disapa oleh muridnya, agak ketar-ketir setelah ditelepon oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) salah satu cabang di Provinsi Aceh pada Juni 2020. Apa pasal? Ternyata, bank BUMN tersebut meminta Purba untuk memindahkan rekening tabungan ke BRI Syariah.

Paling lambat akhir tahun ini sudah pindah, begitu cerita Purba kepada penulis.

Bila emoh migrasi, opsi satu-satunya bagi Purba adalah menjadi nasabah kantor cabang BRI di luar Aceh. Terdekat adalah di Provinsi Sumatera Utara. Dengan alasan efisiensi dan efektivitas, Purba akhirnya memilih merelokasi tabungannya ke anak usaha syariah bank tersebut.

Proses pemindahan tabungan tersebut tidak ribet. Purba hanya membawa buku tabungan lawas dan dokumen kelengkapan lain. Dalam waktu tidak lama, Purba mendapatkan buku tabungan BRI Syariah. Saldonya tidak berkurang sedikit pun, ucap Purba.

Menggenggam rekening bank syariah barangkali biasa saja bagi seorang muslim, terlebih di Aceh yang memiliki aturan syariat Islam. Namun, Purba agak lain karena menganut agama Kristen Protestan dan tinggal di Bumi Serambi Mekkah.

Bukan kali ini saja Purba menjadi nasabah bank syariah. Sebagai seorang pegawai negeri sipil, perempuan berdarah Batak ini pun diharuskan memiliki nomor rekening Bank Aceh. Sejak 2016, BUMD Pemprov Aceh tersebut telah bertransformasi ke bank syariah dari sebelumnya berskema konvensional.

Jadi sekarang saya punya dua rekening yang sama-sama syariah, kata guru di sebuah sekolah negeri di Kota Banda Aceh ini.

Ibu Purba memegang dua rekening tabungan bank berskema syariah/dok pribadi

WAJIB SYARIAH

Migrasi bank syariah di Aceh merupakan mandat Qanun No. 11/2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang diundangkan pada 4 Januari 2019. Peraturan daerah tersebut mewajibkan seluruh kegiatan usaha finansial di Tanah Rencong berskema syariah paling lambat 3 tahun sejak pengundangannya atau pada 2022.

Tidak ada klausul nonmuslim dikecualikan dari perbankan syariah di Aceh. Sebagaimana bunyi Pasal 6 bahwa objek dari Qanun 11/2018 termasuk setiap orang beragama bukan Islam melakukan transaksi di Aceh dapat menundukkan diri pada Qanun ini.

Di bagian penjelasan Qanun 11/2018, kehadiran lembaga keuangan syariah di Aceh dianggap sudah mendesak. Keuangan syariah dinilai sebagai pilar pengamalan syariah Islam di bidang muamalah.

Gara-gara Qanun 11/2018, jangan terkejut bila provinsi di ujung Sumatera itu langsung terbang tinggi dalam industri perbankan syariah nasional. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Snapshot Perbankan Syariah Indonesia 2020 mencatat Aceh nangkring di peringkat ketiga nasional dari segi aset dengan pangsa 6,24%.

Per Desember 2020, kenaikan aset, pembiayaan yang disalurkan (PYD), maupun dana pihak ketiga (DPK) perbankan syariah Aceh juga paling besar di Indonesia. Berturut-turut pertumbuhannya dibandingkan dengan 2019 adalah 50,80%; 74,03%; dan 48,76%.

Peningkatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. Total aset perbankan syariah nasional per Desember 2020 sebesar Rp608,9 triliun, PYD Rp394,6 triliun, dan DPK Rp475,8 triliun. Kenaikannya dari tahun sebelumnya berturut-turut 13,11%; 8,08%; dan 11,88%.

Tangkapan layar perkembangan perbankan syariah berdasarkan provinsi/Snapshot Perbankan Syariah Indonesia 2020 OJK

PANGSA NONMUSLIM

Kendati sudah bernilai ratusan triliun, OJK mencatat porsi perbankan syariah baru 6,51% dari pangsa pasar perbankan nasional. Jika melihat jumlah umat Islam yang sebesar 88% total penduduk Indonesia, peluang berkembang semakin besar.

Tentu saja tidak semata umat Islam karena peluang juga terbuka buat pemeluk agama lain. Ketika meresmikan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) pada 1 Februari 2021, Presiden Joko Widodo pun memastikan bank syariah pelat merah menyambut siapa saja yang mau bertransaksi atau berinvestasi secara syariah.

Jadi, jangan berpikir BSI ini hanya untuk umat muslim saja. Yang nonmuslim pun juga harus diterima dan disambut baik menjadi nasabah BSI, kata Jokowi sebagaimana dinukil dari laman Republika.

Persentuhan nonmuslim dengan bank syariah juga bukan cerita baru di Indonesia. Menurut situs konsultan pajak DDTC, ketika pemerintahan Orde Baru mengizinkan pendirian Bank Muamalat Indonesia pada 1991, dua pejabat Nasrani tercatat sebagai nasabah bank syariah tersebut. Keduanya adalah Menteri Keuangan Johanes Baptista Sumarlin dan Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooy.

Dalam wawancara dengan harian Bisnis Indonesia, Wakil Presiden Maruf Amin bahkan menyebutkan bahwa bank syariah lebih dahulu hadir di negara nonmuslim seperti Inggris, Singapura, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Menurut Wapres, ekonomi syariah memang awalnya dimotivasi dorongan agama, tetapi lebih lanjut berkembang menjadi pendekatan rasional.

Artinya, orang memilih ekonomi syariah karena memang layanannya baik, sesuai dengan hati nurani, transaksi yang berdasar pada keadilan, ucap bekas Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.

Sementara itu, Ibu Purba pun merasakan tidak ada perbedaan perlakuan antara dirinya dan nasabah muslim di dua bank syariah. Dia hanya perlu menyesuaikan diri dengan sistem bagi hasil dan biaya administrasinya. Adaptasi Purba semakin bertambah menyusul mergernya BRI Syariah ke dalam BSI.

Sampai sejauh ini, Purba mengaku masih sebatas nasabah penabung di dua bank syariah. Tiap bulan rekeningnya di bank pemerintah daerah menerima kiriman gaji. Sementara rekening di BSI untuk keperluan lain semisal transfer uang kepada sanak saudara berkat jangkauan bank itu yang lebih luas.

Pemanfaatan fasilitas lain seperti pembiayaan belum ada di benaknya. Hanya saja, Purba menangkap satu kelebihan dalam skema pembiayaan di bank syariah. Berpijak pada kelebihan tersebut, koleganya di tempat kerja sudah berancang-ancang meminjam lewat skema syariah.

Mereka bilang dibandingkan dengan bank biasa, lebih murah pinjam di syariah, tutur Purba.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image