
Menerawang Pertumbuhan Bank Syariah di Indonesia
Gaya Hidup | 2021-05-24 08:00:01

A. Pendahuluan
Kalau kita ingin merawang pertumbuhan bank syariah dimasa depan di bumi pertiwi, tentunya kita harus mengetahui kinerja perbankan syariah sampai detik ini. Apakah kinerjanya moncer atau tidak. Selain itu kita juga harus bisa mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan dan tantangan apa yang mempengaruhi pertumbuhan bank syariah. Dengan mengetahui hal-hal tersebut tentunya kita akan bisa menerawang pertumbuhan bank syatiah di bumi pertiwi.
Perbankan syariah di Indonesia memiliki peranan sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Pertumbuhan perbankan syariah juga membutuhkan landasan hukum yang kuat untuk operasionalisasinya sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi perekonomian nasional. Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Keberadaan Undang-Undang perbankan syariah ini tentunya telah mendukung kinerja perbankan syariah di Indonesia. Tentunya kondisi ini dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan kinerja perbankan syariah dilihat dari sisi aktiva, penghimpunan dana pihak ketiga, penyaluran pembiayaan, jumlah jaringan kantor bank, serta rasio-rasio keuangan. Akan tetapi dalam pertumbuhannya, perbankan syariah tidak luput dari permasalahan yang dihadapi. Permasalahan ini tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan bank syariah.
Tentunya bank syariah mempunyai strategi yang dapat membantu tumbuh kembangnya bank syariah yaitu (a) proaktif mempromosikan sistem perbankan syariah kepada masyarakat luas, dan (b) meningkatkan layanan dan permodalan untuk mewujudkan perbankan syariah yang kuat dan sehat. Dengan strategi ini telah membuktikan pencapaian bank syariah yang bisa kita amati kondisi perbankan saat ini.
B. Kondisi Perbankan Syariah Saat Ini
Pertumbuhan bank syariah di Indonesia pada tahun 2020, tumbuh signifikan dan bisa mengalahkan laju pertumbuhan bank konvensional. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso bahwa industri perbankan syariah lebih resilience di tengah pandemi Covid-19. Hal ini tercermin dari pertumbuhannya yang melampaui perbankan konvensional.
Dikatakan bahwa pada tahun 2020, pertumbuhan pembiayaan bank syariah sebesar 9,5 persen. Angka pertumbuhan pembiayaan bank syariah jauh di atas pertumbuhan pembiayaan perbankan nasional sebesar 2,41 persen pada periode yang sama.
Sedangkan secara total aset keuangan syariah pada 2020 sebesar Rp1.770,3 triliun atau naik 21,48 persen yoy. Jumlah itu terdiri dari aset perbankan sebesar Rp593,35 triliun dan pasar modal sebesar Rp1.063,81 triliun.
Bukan itu saja, mengenai pembiayaan bank syariah juga tercatat tumbuh lebih baik mencapai 10,3 persen secara tahunan, dibandingkan dengan pembiayaan bank konvensional hanya tumbuh sebanyak 5,5 persen secara tahunan.
Demikian juga mengenai dana pihak ketiga di industri perbankan syariah tumbuh hingga 8,8 persen secara tahunan di tengah pandemi. Sebaliknya dana pihak ketiga di industri perbankan konvensional tumbuh tipis sebesar 8,5 persen secara tahunan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa total pertumbuhan aset, pembiayaan, maupun dana pihak ketiga perbankan syariah lebih tinggi dari konvensional. Tentunya ini tidak lepas jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim hingga mencapai 87 persen dari total populasi penduduk yang ada.
Pada tahun 2021 ini merupakan tahun yang memberikan warna sendiri bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dikarena perbankan syariah merupakan salah satu sektor yang masih mengalami pertumbuhan bisnis positif di era pandemi. Bukan itu saja tapi pada tahun 2021 menjadi momentum yang sangat penting dan strategis bagi perkembangan perbankan syariah Indonesia. Hal ini karena pada awal tahun 2021 terdapat tiga bank syariah milik pemerintah resmi bergabung yakni PT BRI Syariah Tbk (BRIS) dan PT Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS) dan PT Bank Mandiri Syariah (BMS) menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Dengan aset hasil merger tiga bank syariah ini mencapai sekitar Rp 239,56 triliun.
Kalau kita analisis data OJK pada Januari 2021 alan tercermin bahwa saat ini ada 34 pelaku usaha perbankan syariah di Indonesia. Terdiri dari 14 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS) serta 163 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Sedangkan untuk jumlah 20 UUS itu 7 diantaranya berasal dari bank umum swasta nasional termasuk UUS Bank Permata, BTN, Cimb Niaga, Maybank, OCBC NISP, Sinar Mas dan Danamon. UUS ini juga memberikan kontribusi besar bagi perbankan syariah. Dalam data OJK juga dijelaskan bahwa ada 13 UUS berasal dari bank daerah.
C.Indikator Perkembangan Industri Perbankan
Indonesia pernah mengalami krisis perbankan pada tahun 1997/1998. Dalam krisis perbankan ini memberikan pengaruh yang luar biasa pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Hal ini tentunya menjadi pelajaran yang berharga secara berkelanjutan untuk mengetahui faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada terjadinya krisis perbankan. Kalau dianalisis maka faktor-faktor yang mempengaruhi krisis perbankan adalah faktor sektor riil, sektor perbankan sendiri, dan juga kondisi fluktuatif yang selanjutnya disebut dengan faktor shocks.
Bercermin dari faktor yang mempengaruhi krisis perbankan maka perlu adanya perhatian juga terhadap faktor-faktor sebagai indikator pertumbuhan perbankan syariah. Ada beberapa faktor yang menunjukan indikasi terhadap perkembangan pada industri perbankan khususnya perbankan syariah di Indonesia. BI pernah menyampaikan pada tahun 2014 bahwa setidaknya ada empat indikator yang memperlihatkan ketahanan perbankan masih dalam kondisi baik. Pertama, risiko kredit masih berada pada posisi aman. Faktor kedua dan ketiga, likuiditas dan pasar masih cukup terjaga. Keempat yaitu adanya dukungan ketahanan modal yang kuat. Pertumbuhan kredit sejalan dengan moderasi pertumbuhan permintaan domestik. Pada industri perbankan syariah secara khusus kredit disebutkan sebagai pembiayaan. Pada perkembangan Industri Perbankan Syariah hingga bulan Juni tahun 2019 terus menunjukkan perkembangan positif yang ditunjukkan dengan Aset, Pembiayaan Yang Disalurkan (PYD), dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang terus bertumbuh.
D. Perkembangan Pembiayaan yang Disalurkan (PYD)
Seperti fungsi bank umumnya bahwa fungsi utama dari Perbankan Syariah adalah mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkan untuk pembiayaan kepada pihak yang memerlukan. Fungsi ini sering disebut dengan fungsi intermediasi keuangan. Tentang fungsi bank syariah juga diatur dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) UU Republik Indonesia No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa salah satu indikator perkembangan industri perbankan syariah yaitu ditunjukkan dengan peningkatan pada Pembiayaan Yang Disalurkan (PYD). Pembiayaan yang berdasarkan prinsip syariah yaitu penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/16/PBI 2008 menyebutkan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b) Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna;
d) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e) Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Berdasarkan Snapshot Perbankan Syariah Juni 2019 dapat ditunjukkan bahwa PYD pada industri perbankan syariah terus menunjukkan kenaikannya dari tahun 2015 silam. Pada tahun 2015 ditunjukkan bahwa PYD berada di angka 219 triliun rupiah. Tahun 2016 berada pada angka 255 triliun rupiah dengan persentase kenaikan 16,41%. Pada tahun 2017 PYD berada pada angka 293 triliun rupiah dengan persentase kenaikan sebesar 15,24% tidak setinggi tahun sebelumnya. Lalu pada tahun 2018 PYD berada di angka 329 triliun rupiah dengan persentase pertumbuhan sebesar 12,21% masih lebih besar tahun sebelumnya. Pada Juni 2019 PYD berada pada angka 343 triliun rupiah dengan persentase pertumbuhan sebesar 12,94%.
Data PYD tahun 2019 mayoritas berasal dari Bank Umum Syariah (BUS) sebesar 212,56 triliun, selanjutnya dari Unit Usaha Syariah (UUS) sebesar 120,52 triliun rupiah, kemudian dari BPRS sebesar 9,73 triliun rupiah. Sehingga Total PYD sebesar 342,81 triliun rupiah. BUS masih menjadi penyumbang terbesar pada PYD pada tiaptiap tahunnya dengan kegiatan usaha yang juga lebih luas jika dibandingkan dengan BPR. BPRS dengan beberapa keterbatasan lokasi, produk, atau kegiatan usaha BPRS sehingga menyumbangkan komposisi terkecil bagi PYD di Indonesia.
Pembiayaan Yang Disalurkan oleh Industri Perbankan Syariah di Indonesia sangat berarti bagi sebagian kalangan khususnya bagi pengguna PYD tersebut. Pembiyaan yang disalurkan perbankan syariah di Indonesia dapat juga dibagi menjadi sejumlah jenis diantaranya pembiayaan berdasarkan jenis penggunaan, akad, sektor produktif terhadap UMKM, sektor ekonomi, dan pertumbuhan pembiayaan 5 sektor utama. Di bawah ini merupakan diagram yang menunjukkan pembiayaan berdasar penggunaan PYD pada tahun 1019.
Pengguna PYD pada perbankan syariah di Indonesia lebih besar digunakan bagi konsumsi yaitu sebesar 44,07% lalu dilanjutkan bagi modal kerja yaitu sebesar 31,84%. Penggunaan PYD terkecil yaitu digunakan bagi investasi dengan jumlah persentase sebesar 24,01%. Konsumsi menjadi tingkat paling tinggi bagi pembiayaan perbankan syariah yang menunjukkan bahwa masyarakat masih mendominasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya jika dibandingkan dengan investasi. Tinggi rendahnya pembiayaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya komposisi aset perusahaan pembiayaan, perkembangan total aset dan piutang pembiayaan, dana pihak ketiga, sertifikat BI, dan lainnya. Pembiayaan perbankan syariah utamanya disebabkan meningkatnya pembiayaan di berbagai sektor. Pembiayaan perbankan syariah pada 2019 berdasar sektor dengan sektor terbesar yaitu sektor rumah tangga, perdagangan besar dan eceran, konstruksi, industri pengolahan, dan perantara keuangan. Pembiyaan pada sektor rumah tangga menjadi paling tinggi yaitu sebesar 42,39%, selanjutnya pada perdagangan besar dan eceran menjadi peringkat kedua yaitu sebesar 10,22%. Disusul kemudian pembiayaan pada sektor kontruksi yaitu sebesar 8,57% dan sektor industri pengolahan yaitu sebesar 7,69%. Pembiayaan paling rendah yaitu pada sektor perantara keuangan sebesar 5,50%.
Berdasarkan akad pada pembiayaan perbankan syariah tahun 2019 menunjukkan bahwa akad murabahah menjadi paling tinggi yaitu mencapai angka sebesar 49,95%. Murabahah merupakan akad jual-beli antara bank dan nasabah. Bank akan melakukan pembelian atau pemesanan barang sesuai permintaan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah sebesar harga beli ditambah keuntungan Bank yang disepakati. Akad kedua tertinggi yaitu musyarakah 42,74%. Merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah tidak menanggung sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi. Kedua akad ini mendominasi pembiayaan pada perbankan syariah jika dilihat dengan akad lainnya yaitu mudharabah, ijarah, qard dan istishna.
Akad ke tiga yang menjadi akad diminati dalam pembiayaan bank syariah yaitu mudharabah yaitu sebesar 4,29%. Mudharabah merupakan kerjasama antara bank selaku pemilik dana (shahibul maal) dengan nasabah selaku (mudharib) yang mempunyai keahlian atau ketrampilan untuk mengelola suatu usaha yang produktif dan halal. Hasil keuntungan dari penggunaan dana tersebut dibagi bersama berdasarkan nisbah yang disepakati. Akad keempat yaitu ijarah sebesar 3,25%. Ijarah merupakan pemindahan suatu akad hak guna atau kemanfaatan atas suatu benda atau barang dengan pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan serta akad atas manfaat dengan imbalan yang disepakati antara kedua belah pihak.
Pembiayaan berdasarkan akad paling rendah yaitu qard dan istishna masing-masing sebesar 2,75% dan 0,56%. Dalam ketentuan BI Pasal 1 angka 11 PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak meminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan istishna menurut OJK merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni') dan penjual (pembuat/shani'). Tentunya selain hal kinerja perbankan syariah seperti dijelaskan diatas bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan bank syariah.
E. Faktor Penunjang Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bank Syariah
Pertama, potensi market yang sangat besar. Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam memiliki kekuatan tersendiri untuk membantu pengembangan perbankan syariah. Hingga kini, market share di industri perbankan syariah masih kalah jauh dengan market share di industri perbankan konvensional. Oleh karenanya, sangat dimungkinkan ke depan, baik pelan atau cepat, terjadi perimbangan market share di industri perbankan syariah dan industri perbankan konvensional.
Kedua, dengan muncul lembaga pendidikan yang membuka jurusan bidang perbankan syariah. Sehingga dengan adanya lembaga-lembaga ini akan ketersedian generasi penerus perbankan syariah terpenuhi. Apalagi mereka ini dididik sesuai disiplin ilmu perbankan syariah, sehingga keprofesional mereka akan berlebih.
Ketiga, dengan munculnya ekosistem syariah seperti Masyarakat Ekonomi Syariah, Masyarakat Tanpa Riba dan lainnya, tentunya merupakan triger tersendiri untuk menambah pertumbuhan perbankan syariah
Keempat, secara yuridis eksistensi perbankan syariah semakin kuat setelah disahkannya UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah. Dengan demikian operator di industri perbankan syariah sudah tidak perlu ragu lagi melangkah untuk mengembangkan perbankan syariah di Indonesia. Apalagi sekarang pemerintah melalui Kementerian BUMN melakukan merger 3 Bank syariah milik BUMN.
Ketlima, menjalankan kebijakan spin off dan konversi. Dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan bank syariah, BI dapat mendorong Unit Usaha Syariah untuk memisahkan dirinya (spin off) dari bank induknya atau konversi dari bank konvensional menjadi bank syariah. Sesuai dengan amanah yang ada dalam UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, 15 tahun setelah disahkannya UU Perbankan Syariah bank konvensional yang mempunyai UUS harus mengikhlaskan untuk di-spin off dari induknya.
Keenam, inovasi produk pada industri perbankan syariah. Kalau kita dibandingkan dengan produk yang dimiliki oleh industri perbankan konvensional, perbankan syariah relatif mempunyai variasi produk yang beraneka ragam, hal ini karena banyak akad yang bisa diterapkan. Dengan penerapan akad yang ada maka perbankan syariah dapat menginovasi produk yang berdasarkan pada prinsip jual-beli (murabahah, salam, dan istishna), prinsip bagi hasil (musyarakah dan mudharabah), dan prinsip sewa (ijarahdan ijarah muntahiya bit tamlik).
F. Nasib UUS Dimasa Depan
Kalau kita amaty bahwa pada Undang-Undang No 21 Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS dengan nilai aset mencapai paling sedikit 50% dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya undang-undang Perbankan Syariah, maka BUS itu wajib memisahkan UUSnya menjadi BUS, jika tidak mampu maka bank induknya wajib menutup layanan syariah yang mereka miliki.
Bila kita mencermati laporan publikasi UUS sampai dengan tahun 2020 menunjukkan bahwa sampai saat ini belum ada UUS yang memenuhi kriteria memiliki nilai aset paling sedikit 50 % dari bank induknya. Dengan sesuai UU maka seluruh UUS wajib memisahkan diri pada tahun 2023. Sedangkan itu hanya berjarak lebih kurang 2 (dua) tahun saja dari tahun ini dimana seluruh UUS yang ada sudah harus memilih apakah akan melakukan spin off atau konversi.
Untuk UUS Bank Umum Swasta Nasional untuk mengubah status ini kemungkinan tidak sulit. Sedangkan untuk Bank Daerah memperoleh dukungan pemerintah daerah, dukungan legislatif akan menjadi problem tersendiri.
Mengingat batas waktu UUS harus telah spin off ataupun konversi tahun 2023 maka pengambilan keputusan untuk masa depan UUS di Indonesia baik untuk spin off ataupun konversi harus dirumuskan paling lambat tahun 2021. Karena proses implementasi spin off maupun konversi akan memakan waktu minimal dua tahun. Jika tidak maka dikhawatirkan batas waktu yang ditetapkan UU tidak akan dapat dipenuhi lagi. Seandainya dalam batas waktu pada tahun 2023 ada UUS yang tidak memenuhi kriteria, bukan berarti perkembangan perbankan syariah akan bermasalah. Hal ini karena karakter nasabah dari bank syariah sangat beda dengan bank konvensional. Karkater nasabah bank syariah memang sedari awal menginginkan adanya bank syariah, dengan adanya penututupan UUS tidak akan berbondomg-bondong melakukan rush/penarikan dana besar-besar yang bisa menimbulkan sistemik.
G. Penutup
Kalau melihat tren dari pertumbuhan perbankan syariah selalu mengalami tren naik. Artinya perkembangan bank syariah sangatlah menjanjikan di negeri ini. Namun kalau kita amati UU Perbankan Syariah tahun 2008 yang mensyaratkan UUS harus bisa spin off/konversi pisah dari induknya pada tahun 2023 maka agak susah terpenuhi. Namun seandainya banyak UUS yang harus ditutup, bukan berarti perkembangan bank syariah mati suri.
Justru dengan adanya seleksi alam terhadap bank syariah maka akan memunculkan bank syariah yang benar-benar bisa tumbuh kembang lebih baik. Tahun 2023 mungkin merupakan acuan dasar bank syariah mana yang bisa bertahan dan mana yang tidak. Untuk yang bisa bertahan tentunya akan bisa tumbuh kembang dengan baik, karena masyarakat Indonesia ada yang benar-benar ingin bank syariah berkembang, sehingga mereka merasa nyaman untuk menyimpan dana maupun meminjam dana untuk usahanya. Tentunya diiringi kinerja yang selalu moncer dengan sendirinya kepercayaan masyarakat akan semakin meningkat. Otomatis masa depan perbankan syariah di bumi pertiwi akan semakin berkemilau.
Daftar Pustaka
Harahap, S. S. Wiroso dan M. Yusuf. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: Trust Media, 2009.
Kasmir. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Perwaatmadja, Karnaen, dkk. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Soemitra, Andri. Bank & Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana, 2009.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.