Digitalisasi perbankan: Apa yang perlu dilakukan oleh bank syariah?
Bisnis | 2021-05-23 17:29:11Pengembangan perbankan syariah merupakan salah satu tantangan dalam pengembangan ekonomi syariah yang saat ini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Perkembangan perbankan syariah terhitung lambat, jika dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan pangsa pasar hanya berubah sedikit demi sedikit secara bertahap dari tahun ke tahun. Data dari Snapshot Perbankan Syariah OJK menunjukkan bahwa per Desember 2020 market share perbankan syariah berada pada angka 6,51% dari seluruh market share industri perbankan di Indonesia. Walaupun demikian, hal ini tetap perlu disyukuri karena trennya selalu meningkat setiap tahunnya.
Industri perbankan Indonesia pun sudah mulai memasuki era digitalisasi, bahkan sudah mencapai titik dimana digitalisasi merupakan salah satu elemen penting untuk bersaing dalam industri perbankan. Digitalisasi juga membuat kompetisi dalam industri perbankan menjadi semakin ketat karena persaingan tidak hanya datang dari sesama perbankan, tetapi juga perusahaan fintech dan ecommerce yang dapat menggantikan peran bank dalam memberikan pinjaman, pembiayaan, pembayaran dan fasilitas lainnya.
Dibandingkan dengan perbankan konvensional, infrastruktur dan teknologi yang dimiliki oleh perbankan syariah dapat dikatakan masih tertinggal. Hal ini merupakan suatu kewajaran karena perbankan syariah tentu akan mengeluarkan biaya yang besar jika ingin investasi di infrastruktur dan teknologinya, belum lagi maintenance yang mungkin akan menimbulkan biaya tambahan. Walaupun demikian, perbankan syariah terlihat mampu mengejar ketertinggalannya di bidang digitalisasi bisnis. Hal ini terlihat dari banyaknya produk yang ditawarkan dan proses bisnis yang terdigitalisasi oleh perbankan syariah seperti, sistem pembayaran digital, pengajuan pembiayaan penyaluran ZISWAF, pembukaan rekening tabungan haji, dan lainnya.
Perbankan syariah tentu perlu mengambil langkah lebih agresif agar bisa bersaing dan menang di era digitalisasi ini. Walaupun kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh perbankan syariah terbatas, masih ada beberapa peluang dan cara yang dapat dilakukan.
Pertama, perbankan syariah bisa melakukan kerja sama strategis dengan perusahaan fintech dan ecommerce. Perusahaan fintech dan ecommerce memiliki teknologi dan kemampuan yang tidak dimiliki oleh bank syariah di Indonesia saat ini. Mereka mampu bebas berinovasi dan berkreasi dalam dunia bisnis karena adanya peluang dan kapabilitas yang terdapat dalam digitalisasi ekonomi dan keuangan, termasuk kegiatan perbankan dan jasa keuangan lainnya. Bank syariah dapat memperkuat model bisnis mereka saat ini dengan infrastruktur teknologi terkini dari perusahaan fintech dan ecommerce.
Dari kerja sama ini, perbankan syariah juga dapat melakukan sharing data dengan perusahaan fintech dan ecommerce terkait untuk memperluas pangsa pasarnya. Data merupakan hal yang berharga dan penting dalam persaingan ekonomi digital. Hal ini akan menjadi kelebihan untuk perbankan syariah dalam menyusun strategi bisnis kedepan dengan baik dan lebih akurat.
Kedua, perlunya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia perbankan syariah di bidang yang berkaitan dengan ekonomi digital. Adanya infrastruktur dan teknologi pendukung tentu perlu diiringi dengan sumber daya manusia yang kompeten untuk mengelola hal tersebut. Perbankan syariah perlu meng-upgrade sumber daya manusianya agar memahami data science, data analytics, IoT, Big Data, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan digitalisasi bisnis.
Ketiga, melakukan inovasi produk. Dengan kemampuan dan data yang diharapkan dimiliki oleh perbankan syariah dari dua hal di atas, perbankan syariah akan bisa memetakan pangsa pasarnya dan mengidentifikasi karakteristik serta kebutuhan calon konsumennya.
Saat ini kebutuhan konsumen akan transaksi digital semakin tinggi, perbankan syariah perlu menyediakan fasilitas pembiayaan yang sejalan dengan kebutuhan konsumen, sebagai contoh kebutuhan akan fasilitas debit online/e-card/kartu debit virtual. Jasa-jasa yang membutuhkan pembayaran melalui debit online saat ini semakin banyak, mulai dari pembayaran langganan online tv, online course, hingga pembayaran transaksi sehari hari. Demi kemudahan pembayaran, perbankan konvensional sudah melakukan inovasi dengan menyediakan fasilitas debit online untuk mempermudah nasabahnya. Perbankan syariah dapat menjadikan fenomena ini sebagai peluang pasar baru, mengingat belum adanya bank syariah yang menyediakan fasilitas tersebut. Ini adalah peluang yang tepat untuk perbankan syariah mengoptimalkan inovasi produknya dan menyediakan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen di Indonesia.
Keempat, risiko-risiko yang timbul dari adanya digitalisasi juga perlu ditanggulangi dengan baik. Banyak sekali data yang bocor kemudian digunakan oleh oknum untuk hal yang tidak diinginkan. Ini bisa berakibat fatal apabila terjadi pada suatu bank. Data nasabah bisa bocor dan mungkin rekeningnya bisa dibobol oleh hacker atau pihak yang ingin berbuat jahat. Hal ini tentu akan merusak reputasi dari keamanan bank itu sendiri sehingga nasabah kemungkinan besar pindah ke bank yang lain. Perbankan syariah sudah semestinya dapat menawarkan fitur yang menjunjung tinggi kerahasiaan dan keamanan data dan dana nasabahnya di era digitalisasi ini.
Hal hal ini mungkin bukan merupakan hal yang mudah dilakukan oleh perbankan syariah, namun ini merupakan hal yang perlu dilakukan oleh perbankan syariah untuk terus berkembang lebih baik lagi. Apabila perbankan syariah dapat melaksanakannya dengan baik, maka ekosistem digital perbankan syariah akan terbentuk dan mungkin tidak akan kalah baik dengan yang dimiliki oleh perbankan konvensional.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.