Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Muzayyin

Aku Ingin Bercerita dengan Pak Presiden

Sastra | Tuesday, 04 May 2021, 05:28 WIB
Ilustrasi: Dengarkan Suara Rakyat./Salni Setyadi/Beritagar.id

Aku ingin bertemu Bapak Presiden. Ada kisah yang ingin aku ceritakan Pak. Aku dengar Bapak adalah pendengar yang baik. Konon sewaktu Bapak mau jadi Presiden, Bapak rajin bertandang ke rumah-rumah penduduk di desa untuk sekedar mendengarkan apa yang mereka harapkan buat dirinya, dan buat negara ini di lima tahun kedepan.

Saat ini sulit sekali pak, menemukan pendengar yang baik. Padahal, sebagai tukang cerita, aku sangat membutuhkan sosok pendengar yang baik. Sekarang semua orang hanya ingin omongannya di dengar pak, tanpa mau mendengarkan omongan dan cerita dari orang lain. Apalah arti tukang cerita kalau tak ada lagi yang mau mendengarkan kisah-kisah yang di ceritakannya?

Saya harap, Bapak mau mendengar cerita saya........

Ini cerita tentang kota kami dan seseorang yang sangat istimewa. Tukang angkringan pinggir jalan, umurnya sekitar 60 tahun-an, namanya muhammad ruslan, panggil saja Pak Muslan.

Jika engkau datang ke kota kami, engkau akan terpesona dengan keindahan kota ini. Engkau tak akan bosan-bosan bercerita dan berbincang tentang kota ini. Sepanjang siang kami bercakap-cakap dan saling bercerita dengan riang. Seakan-akan setiap orang punya cerita dan merasa penting untuk disampaikan kepada yang lainnya. Begitulah, mereka terus saja berbincang dan bercerita tentang belalang yang bisa menembus kaca, tentang kunang-kunang yang muncul saat pagi buta. Namanya juga kota istimewa!, masih banyak cerita ajaib lainnya.

Lama-kelamaan, bersamaan dengan penduduk kota yang semakin ramai, dan perbincangan yang tak kunjung usai, mereka lebih banyak bicara soal udara kota yang mulai terasa gersang, jalanan yang rusak berlubang, pohon-pohon yang ditebang serampangan, bau tak sedap bekas sisa limbah pabrikan, bangunan-bangunan liar mulai memadati kota, uang sogokan di bawah meja..........

sementara langit di kota tampak redup seperti kain sutera lusuh kecoklatan yang dibentangkan, halus, namun membosankan. Kemudia mereka saling bertengkar dan menyalahkan.

"Saya sudah menceritakan semua itu, tapi kalian tidak mau dengar......"

"Dari dulu sudah kami bilang, tapi sampean tetep tak mau mendengar...."

"Sampean yang mesti dengar.....!"

Mereka terus bertengkar karena tak ada yang mau mendengar. Sebagian orang memilih diam, diam karena malas mendengarkan. Sebagian lagi mulai enggan melakukan percakapan, sebab merasa bosan karena tak ada satupun yang mau mendengarkan. Pelan-pelan kota kami mulai kehilangan percakapan, semuanya bungkam. Kota ini semakin suram. Kebisuan seperti karung yang membungkus kota kami.

Puluhan tahun berlalu, dan kami semakin tenggelam dalam diam dan terasa muram. Kami ingat ada orang yang istimewa di kota ini. Yah! Pak Muslan. Di lorong-lorong gelapnya malam, kami berbondong-bondong menyisir pinggiran jalan mencari Pak Muslan.

"Itu Pak Muslan....." ujar Pak Budiman.

"Pakkkkkk..."

Ia melayani kami dengan diam, terkesan lamban. Tetapi sikapnya yang diam membuat kami sebagai membeli sekaligus pencari beliau, merasa kerasan dan ingin berlama-lama berada di dekatnya. Diamnya terasa menentramkan, dan membuat kami seperti menemukan seseorang yang mau mendengarkan. Dan itulah yang membuat Pak Muslan menjadi sangat istimewa!

Kami tak pernah tau, sejak kapan persisnya kami menyadari keistimewaan Pak Muslan itu, Bodo amat! yang penting kami meresa tenang dan tentram saat di dekatnya. Tapi yang jelas, lima bulan sebelum penyelenggaraan pemilu, kami makin menyadari keistimewaan Pak Muslan.

Puluhan orang datang, berseragam kompak, berteriak-teriak dan terus bercakap-cakap tentang apa saja yang sudah kami lupa, karena selama ini kami tak pernah mempercakapkannya lagi. Sepanjang hari, mereka memekikkan yel-yel, menggelar orasi, mengumbar janji.

"Jika kami terpilih nanti, Kami berjanji, akan mengembalikan kota ini menjadi seperti semula lagi, Kami akan mensejahtrakan rakyat di kota ini, Bla-bla-bla-bla-bla. Maka dari itu coblos nomor 2!" ujar salah satu orang yang berseragam.

Awalnya, kami cukup merasa senang, menganggap itu sebagai hiburan, setelah sekilan lama kami tak mendengar ocehan. Namun lama-kelamaan kami justru merasakan bosan, sedih, karena kemudian kami menyadari, betapa mereka semua itu sibuk berkata-kata, sibuk dengan apa yang sedang mereka katakan tanpa pernah ada diantara mereka yang mau mendengarkan.

Pada saat itu juga, kami teringat Pak Muslan. Kami seperti tercerahkan, betapa istimewanya dia karena memiliki kemampuan mendengar yang luas biasa. Kami ingat, bagaimana dia duduk bersimpuh penuh kesabaran, sehingga kami merasakan kembali sebuah kenyamanan yang dulu telah hilang ketika kami berada di dekatnya. Kami sangat terkesan dengan Pak Muslan. Karena itulah, di musim pemilu seperti saat ini, kami lebih sering mampir ke Angkringan Pak Muslan, ketimbang mendengarkan teriakan dan ocehan-ocehan yang membosankan. Kami menyampaikan semua keinginan dan harapan disana, dan dengan sabar Pak Muslan mendengarkan. Pak Muslan Tersenyum. Membuat langit di kota ini menjadi lebih cerah. Kami pun saling melempar senyum, seperti hendak saling meyakinkan, betapa kami sudah menemukan apa yang selama ini kami rindukan. Ya, seorang pemimpin yang mau mendengarkan.

Tak mengherankan, saat pemilu diumumkan, Pak Muslan terpilih sebagai pemimpin di kota kami. Viral! sampai ke kanal-kanal kota, kecoa di selokan pun bergembira mendengar berita itu. Ia berkata, "Kami bahagia karena telah memilih seorang pemimpin yang mau mendengar". Ia membuat kami merasa tak sungkan bilamana kami ingin menceritakan semua persoalan yang ada di selokan.

Sekarang Pak Muslan sudah menjadi pemimpin, kami harus cukup tau diri apabila kami ingin menemuinya untuk sekedar bercerita. Kini, kami mesti mengisi buku tamu terlebih dahulu. Lalu dipersilahkan menunggu. Kami pun rela ketika pertemuan dengan Pak Muslan mesti diatur terlebih dahulu. Tentu saja, Karena kesibukan Pak Muslan, pertemuan kami jadi sangat terbatas. Kemudian dibuatlah aturan yang lebih tegas.

satu jam per orang ! ujar seorang ajudan. Tetapi menimbang dan memperhatikan jumlah tamu yang datang terus bertambah, maka setiap pertemuan mengalami penyesuaian. Setengan jam per orang!. Kemudia di sesuaikan menjadi 15 menit per orang!. 5 menit per orang!. 1 menit per orang!. 1 detik per orang....!

Petuigas akan memanggil, dan yang dipanggil dipersilahkan menemui Pak Muslan, lalu segera bercerita, "Eee, begini Pak....Saya rasa....."

"Stop! Waktu Habis!" teriak petugas mengingatkan, kemuadia segera membawa orang itu keluar ruangan.

Begitulah. Sebagian dari kami mulai mengeluh, betapa sulitnya kini bila ingin bertemu Pak Muslan. Yang lain bilang sekarang Pak Muslan tak lagi punya waktu untuk mendengarkan. Disana-sini terdengar gumam kekecewaan. Terus, siapa lagi yang mau mendengarkan cerita kami?. Di kota ini hanya Pak Muslan yang mau mendergar, tapi sekarang beliau terlihat sukar.

Pak Muslan sudah sangat kewalahan membagi waktu untuk mendengarkan. Bahkan kabarnya, Pak Muslan sudah menganggap ini semua Konyol!. "Bagaimana saya bisa bekerja, kalau sepanjang hari saya hanya mendengarkan omongan dan cerita kalian?!" teriak Pak Muslan. Sungguh menakjubkan, itulah pertama kali kami mendengar Pak Muslan bersuara. "Banyak yang harus saya kerjakan selain mendengarkan ocehan kalian yang tak masuk akal......" katanya. Ia pun memerintahkan agar "seluruh warga kota mendengarkan apa saja yang saya katakan, agar semuanya bisa berjalan efektif, efesien, terstruktur, terukur, dan terencana......" lanjutnya.

Pak Muslan mulai suka berbicara dan berpidato. Biasanya setiap akhir pekan, ia mengumpulkan semua warga kota untuk mendengarkannya bicara di atas podium di tengah alun-alun. Terlihat Culun. Pada saat itulah kami merasakan awan menghitam, asteroid bertambrakan, dan kami pun Tenggelam!

Astaga. Aku lupa. Aku terperangah! Kopi ku tumpah!....

"Selesai pak.."

Demikianlah, kenapa aku ingin sekali bertemu dengan Bapak Presiden, dan menyampaikan cerita ini. Menbayangkan bagaimana caranya bertemu beliau saja sudah menjadi kerumitan. Entah. Bayangkan saja lahh tadi aku sedang bercerita dengan Bapak Preisen. Eh, soal kopi tadi maaf yah pak. Tapi sekali lagi, Apakah beliau mau mendengar......?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image